PADA masa awal perjuangan Angkatan 66, konstelasi ini kemudian berubah dengan tersingkirnya kekuatan-kekuatan yang dianggap dekat dengan PKI pada waktu itu (mungkin juga sampai kini ?) dan dianggap sebagai dalang terjadinya pemberontakan G30S (suatu usaha kudeta terhadap kekuatan pemerintahan yang sah waktu itu): CGMI plus GMNI. Di kalangan PNI pada waktu itu telah terjadi pula usaha pembersihan terhadap tokoh-tokoh PNI yang dipimpin oleh Ali Sastroamidjojo dan Ir Surachman yang dianggap bersimpati terhadap PKI, sehingga terbentuklah GMNI ‘aliran kanan’ PNI yang dipimpin Osa Maliki dan Usep Ranawidjaja.
GMNI dari aliran inilah yang dianggap bisa bekerjasama dengan organisasi-organisasi ekstra kampus yang anti komunis dan menjadi kekuatan pendobrak awal dalam usaha ABRI di bawah pimpinan Soeharto dan AH Nasution untuk menggusur kekuatan Orde Soekarno melalui pembentukan KAMI. Pada mulanya KAMI hanya didukung oleh organisasi-organisasi mahasiswa ekstra kampus yang anti komunis tersebut. Terlibatnya mahasiswa melalui organisasi intra kampus kemudian, terjadi oleh karena terdesaknya usaha-usaha pergerakan yang dilakukan oleh KAMI dengan munculnya instruksi pemerintahan Orde Soekarno untuk membubarkan KAMI yang segera disusul instruksi Wakil Perdana Menteri (Waperdam) I Soebandrio untuk membentuk Barisan Soekarno sebagai pengimbang KAMI.
Waktu itu terkenal semboyan “teror harus dibalas dengan kontra teror”. Terdesaknya organisasi KAMI yang murni ekstra kampus itu kemudian mendorong munculnya kebutuhan melibatkan mahasiswa secara keseluruhan di kampus-kampus perguruan tinggi untuk juga terlibat dan melibatkan diri dalam perjuangan menghancurkan dalang peristiwa kudeta G30S yang dianggap masih terlalu dilindungi oleh Soekarno. Bersamaan dengan munculnya konsulat-konsulat KAMI di perguruan-perguruan tinggi terkemuka di Indonesia pada waktu itu bersama-sama dengan dilibatkannya pula massa pelajar SMP dan SMA di dalam organisasi KAPI (Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia) dan KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia) maka resmilah para mahasiswa organisasi intra kampus ikut terlibat menjadi anggota KAMI.
Dengan penggambaran di atas dapat dipahami mengapa pada tahun 1970-1974 gerakan back to campus lebih banyak dilakukan oleh organisasi-organisasi intra kampus yang seakan-akan kembali meninggalkan kegiatan-kegiatan politik untuk kembali melaksanakan fitrahnya sebagai mahasiswa yang harus melanjutkan studinya. Sementara tokoh-tokoh mahasiswa organisasi ekstra kampus juga kembali pada fitrahnya sebagai politisi-politisi muda yang digerakkan oleh aliran ideologi politiknya masing-masing. Tentunya kalangan organisasi mahasiswa ekstra kampus inilah yang sangat berkeberatan dengan terlaksananya gagasan back to campus.
Terdorongnya kemudian tokoh-tokoh mahasiswa intra kampus ke dalam kegiatan politik yang terjadi, adalah karena mereka juga tidak tahan menghadapi penyimpangan-penyimpangan kekuasaan Orde Soeharto. Kemudian, mengambilalih sikap-sikap kritis mahasiswa dan cendekiawan kampus yang tak mungkin lagi dilakukan oleh tokoh-tokoh organisasi mahasiswa ekstra kampus yang semakin larut masuk ke dalam permainan politik kekuasaan Orde Soeharto.
Keluar-kampusnya kegiatan-kegiatan mahasiswa intra kampus sebagian besar terjadi oleh karena semakin berkurangnya kepercayaan masyarakat luas dan kalangan mahasiswa intra kampus terhadap permainan-permainan politik para tokoh organisasi ekstra kampus yang seringkali ‘bermain mata’ dengan politik kekuasaannya Orde Soeharto dan ABRI. Organisasi mahasiswa ekstra kampus tidak mungkin lagi berdiri di depan untuk mengkritisi penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Soeharto.
Tokoh-tokoh organisasi ekstra kampus pada umumnya masih merupakan tokoh-tokoh gerakan mahasiswa 1966. Regenerasi pimpinan organisasi ekstra kampus ini memang hampir tidak berlangsung mulus.
Tokoh-tokoh organisasi ekstra kampus pada umumnya masih merupakan tokoh-tokoh gerakan mahasiswa 1966. Regenerasi pimpinan organisasi ekstra kampus ini memang hampir tidak berlangsung mulus.
Banyak pimpinan organisasi mahasiswa ekstra kampus ini yang sebenarnya sudah bukan mahasiswa lagi, entah karena drop out (tidak dapat menyelesaikan studinya), entah karena telah menjadi sarjana tapi masih betah mempertahankan statusnya sebagai pimpinan organisasi mahasiswa ekstra kampus. Banyak diantaranya yang dalam usia sudah tidak muda lagi (usia 30-40 bahkan lebih tua) masih mempertahankan statusnya itu. Sementara di kalangan organisasi intra kampus (khususnya pada perguruan-perguruan tinggi terkemuka) proses regenerasi pada tampuk kepemimpinannya berlangsung sangat cepat. Hampir tidak pernah ada pimpinan intra yang lebih dari dua periode menduduki jabatan puncak dalam organisasi mahasiswa intra kampus.
Banyak diantara mereka dalam usia ideal bagi kebanyakan mahasiswa dalam sistem pendidikan tinggi pada waktu itu berada pada tingkat-tingkat akhir studinya dalam usia sekitar 24-27 tahun. Dalam usia-usia inilah mereka muncul sebagai tokoh pimpinan puncak organisasi mahasiswa intra kampus.
Setelah 4-6 tahun menjadi mahasiswa dalam jangka waktu studi yang pada waktu itu dipatok oleh kurikulum pendidikan tinggi berlangsung selama 5-7 tahun (Sebagai contoh, kurikulum pendidikan sarjana pada waktu itu rata-rata 5 tahun untuk menjadi sarjana teknik/hukum/ekonomi/sosial, 6-7 tahun untuk pendidikan dokter, psikologi, apoteker), jangka waktu studi mahasiswa bisa molor menjadi satu setengah sampai dua kali jangka waktu studi yang ditetapkan oleh kurikulum. Sebagian besar terjadi karena masih belum efisiennya sistem pendidikan tinggi karena terbatasnya fasilitas prasarana pendidikan tinggi, sistem pendidikan bebas yang menekankan pada usaha mandiri dari mahasiswa dalam merancang studinya, dan lain sebagainya. Rata-rata usia mereka dalam masa gerakan mahasiswa 1966, baru berusia 17-19 tahun.
Karenanya keterlibatan dengan tokoh-tokoh gerakan 1966 pada umumnya cukup berjarak, sehingga sedikit sekali yang merasa memiliki keterkaitan emosional maupun intelektual. Pada waktu tokoh-tokoh gerakan mahasiswa 66 itu telah menyandang status mahasiswa, para tokoh mahasiswa intra kampus 1970-1974 itu masih belum menyandang status mahasiswa. Terdapat perbedaan usia sekitar 6-10 tahun.
Tokoh-tokoh pelajar 66 yang banyak berhubungan dengan tokoh-tokoh mahasiswa 66, pada umumnya jarang yang berhasil menjadi mahasiswa atau tokoh-tokoh mahasiswa intra kampus. Mereka umumnya menjadi ‘generasi yang hilang’ dalam estafet kepemimpinan mahasiswa kampus. Tidak sedikit di antara mereka yang sebenarnya seusia dan segenerasi dengan tokoh-tokoh pimpinan organisasi mahasiswa intra itu, yang tidak melanjutkan studinya secara normal, tidak diterima dalam proses seleksi masuk perguruan tinggi terkemuka, tidak serius studinya, terjun ke dunia politik mengikuti senior-seniornya tokoh-tokoh mahasiswa gerakan 66.
Bahkan tidak sedikit yang menjadi avonturir politik mengotorkan kegiatan-kegiatan aksi mahasiswa intra kampus, sebagai demonstran bayaran, provokator, informan intelejen, komersialisme demonstrasi, bisnis politik dan lain sebagainya. Mereka kemudian menjadi fenomena tersendiri sebagai tokoh-tokoh ekstra kampus, terkadang lebih mengandalkan bukan sebagai representasi formal kampus atau mahasiswa, tetapi tetap menyatakan diri sebagai aktivis gerakan ekstra (luar) kampus. Status kemahasiswaan merekapun seringkali tidak perlu dipermasalahkan karena mereka menyatakan diri sebagai aktivis non-kampus.
Kali ini mahasiswa intra kampus lah yang mengambilalih kendali sikap kritis intelektual terhadap penyimpangan kekuasaan. Bisa dimaklumi bila di dalam era 1970-1974 ini kendali pergerakan mahasiswa intra kampus dalam mengkritisi penyimpangan-penyimpangan pemerintah Orde Soeharto banyak dilakukan tokoh-tokoh mahasiswa intra kampus yang independen dan berhasil melepaskan diri bahkan bersikap memusuhi sikap serta perilaku tokoh dan organisasi ekstra kampus seperti itu. Sementara kampus-kampus perguruan tinggi yang organisasi intra kampusnya banyak dikendalikan oleh tokoh-tokoh dan organisasi-organisasi ekstra kampus semacam itu lebih banyak bersikap pasif, bermuka dua dan mencari momentum yang aman serta tidak terburu-buru menyatakan sikap kritisnya.
Di lain pihak tampaknya organisasi-organisasi ekstra kampus semacam inilah yang segera setelah peristiwa Malari 1974 meletus di Jakarta buru-buru menyatakan sikap menghujat gerakan mahasiswa 1974 dan menjilat kekuasaan pemerintahan Orde Soeharto untuk kemudian memperoleh konsesi-konsesi politik bahkan konsesi ekonomi tertentu. Tampaknya organisasi-organisasi ekstra kampus itu tidak rela kendali kepemimpinan pergerakan mahasiswa dan kecendikiawanan di Indonesia diusung oleh gerakan-gerakan mahasiswan intra kampus.
*Drs Hatta Albanik MPsi, pengajar pada Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran. Mendalami psikologi forensik dan masalah perilaku menyimpang dalam kehidupan politik. Aktivis gerakan kritis mahasiswa intra di Bandung 1970-1974. Menjabat sebagai Ketua Umum Dewan Mahasiswa Universitas Padjadjaran 1972-1974.
0 komentar:
Posting Komentar