Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membuat "kejutan". Sebelum memulai rapat kabinet terbatas mengenai Papua, 9 November lalu, presiden mengumumkan bahwa pemerintah siap berdialog secara terbuka dengan semua elemen masyarakat Papua.
Mengapa presiden seperti tiba-tiba memprakarsai dialog sekarang ini? Padahal, para pemimpin Papua sejak tahun 2000 sudah meminta pemerintah membuka dialog untuk menyelesaikan masalah-masalah mendasar Papua, tetapi tidak mendapat tanggapan.
Pada 2009, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam bukunya, Papua Road Map, mengungkap empat akar masalah konflik Papua. Pertama, sejarah dan status politik tanah Papua. Kedua, kekerasan negara dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Ketiga, marjinalisasi dan efek diskriminatif modernisasi dan migrasi terhadap warga asli Papua. Keempat, kegagalan pembangunan yang terlihat dari kemacetan pendidikan dasar, pelayanan kesehatan di tingkat kampung, dan ketiadaan program pemberdayaan ekonomi kampung yang signifikan.
Untuk menyelesaikan akar masalah itu, LIPI merekomendasikan dialog Jakarta-Papua, yang jika berhasil dengan legitimasi tinggi, kemudian diharapkan dapat membuka jalan bagi rekonsiliasi, penegakan HAM, rekognisi, dan paradigma baru pembangunan bagi penduduk asli Papua. Wajah Indonesia di Papua yang masih didominasi kekerasan dan ketidakadilan diharapkan dapat diubah menjadi lebih ramah, merangkul, adil bagi orang asli Papua.
Kekerasan dan Pelanggaran HAM
Jalan bagi dialog Jakarta-Papua mulai terbuka karena tekanan konflik kekerasan di Papua mengalami eskalasi. Setidaknya, hal tersebut bisa diamati selama setahun terakhir. Pertama, kekerasan yang terkait dengan kelompok sipil bersenjata (KSB), misalnya di Puncak Jaya yang terjadi lima kali. Di Paniai, KSB mengganggu peringatan Hari Kemerdekaan RI. Lebih parah lagi, penyerangan (penembakan dan pembunuhan) oleh orang tak dikenal (OTK) di sekitar Jayapura dan Abepura (10 kasus pada Juli dan Agustus).
Kedua, kekerasan oleh aparat Polri/TNI. Di Moanemani dan Nabire, aparat Polri/TNI melakukan kekerasan terhadap warga sipil Papua. Di Jayapura, pada September 2011, kapolresta dipraperadilankan karena dugaan penganiayaan. Yang memprihatinkan, di Padang Bulan, Abepura, aparat gabungan Polri/TNI membubarkan Kongres Rakyat Papua III dengan brutal, menganiaya sejumlah warga, dan menewaskan enam orang Papua. Ketiga, kekerasan horizontal pilkada. Di Lanny Jaya, Kabupaten Puncak, konflik pilkada antar-pendukung kandidat bupati menyebabkan korban 21 orang tewas.
Dinamika politik dan pengelolaan keamanan di Provinsi Papua masih diwarnai tindak kekerasan --bahkan pelanggaran HAM-- hingga akhir 2011. Seringkali penegak hukum gagal memastikan identitas pelakunya --dengan menyebut OTK (orang tak dikenal)-- sehingga tidak dapat dilakukan penegakan hukum. Jikapun pelakunya diketahui adalah aparat Polri/TNI atau massa partai politik atau etnis tertentu, pemerintah tidak melakukan penegakan hukum. Fenomena impunitas, pembiaran, dan pelanggaran HAM masih lestari.
Kebuntuan Politik dan Internasionalisasi
Di Jayapura dan beberapa kota lainnya, Komite Nasional Papua Barat (KNPB) mengadakan demonstrasi menuntut referendum pada 2 Agustus 2011. Demo itu terkait dengan seminar oleh ILWP yang mempersoalkan Pepera 1969 di London yang dimotori Benny Wenda.
Di Selandia Baru, ada Pacific Islands Forum yang diwarnai demo sejumlah kecil aktivis Papua Merdeka yang berbasis di Australia. Aksi demo itu sempat mengundang komentar Sekjen PBB, Ban Ki-moon, bahwa masalah West Papua disarankan untuk dibawa ke Komite Dekolonisasi PBB.
Di Jayapura, Kongres Rakyat Papua III yang diselenggarakan pada 17-19 Oktober 2011 secara sepihak mengumumkan berdirinya Republik Demokratik Papua Barat dan pemerintahan transisi. Telah ditunjuk Forkorus Yaboisembut sebagai presiden dan Edison Waromi sebagai perdana menteri. Lima orang dijadikan tersangka makar.
Dalam pelaksanaan otonomi khusus (otsus), inkonsistensi pemerintah pusat kembali terjadi. Agus Alua dan Hana Hikoyabi, yang terpilih sebagai anggota MRP, dibatalkan oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Keburukan ini dilanjutkan dengan pemecahan MRP menjadi dua, di Papua dan Papua Barat, yang meningkatkan kesan kesewenang-wenangan dan inkonsistensi pelaksanaan Undang-Undang Otsus oleh pemerintah pusat.
Kebuntuan politik di tanah
Papua merupakan akibat aspirasi Papua merdeka yang ditangani dengan pendekatan politik keamanan (sekuritisasi). Kebijakan politik pemerintah (baca Kemendagri) juga masih berorientasi pada politik sekuritisasi dan mengabaikan semangat otsus, sehingga memperdalam kebuntuan politik di Papua dan ketidakpercayaan terhadap pemerintah. Pelanggaran HAM adalah akibat langsung terburuk dari kebijakan tersebut. Lebih jauh, sudah pasti pelanggaran HAM memberi peluang internasionalisasi dalam pengertian yang negatif terhadap konflik Papua dan kredibilitas Pemerintah RI.
Dialog
Tim Kajian Papua LIPI berkampanye dialog sejak 2009. Buku Papua Road Map dimanfaatkan sebagai media untuk meyakinkan bahwa dialog adalah jalan yang paling bermartabat. Selama tiga tahun advokasi, LIPI telah mengembangkan Jaringan Damai Papua (JDP) dan friends of dialogue di Papua, Jakarta, serta di kalangan komunitas internasional.
Di kalangan lembaga negara, advokasi dialog relatif berhasil. Komisi I DPR-RI merupakan mitra utama LIPI dalam kampanye tersebut. Di kalangan pemerintah, LIPI bekerja sama dengan Setwapres RI sejak Jusuf Kalla masih menjabat. Setelah itu, dengan Dewan Ketahanan Nasional dan lembaga lainnya. Pelan-pelan, istilah dialog diterima, kemudian dikembangkan menjadi "komunikasi konstruktif" pada pidato Presiden RI, 16 Agustus 2010.
Di tanah Papua telah dibuat konsultasi publik di 26 kabupaten/kota, dengan pimpinan akar rumput Papua dan pendatang. Konsultasi ini penting karena memberikan dasar legitimasi bagi proses pradialog dan dialog yang akan datang, mengingat model kepemimpinan Papua yang belum begitu terpusat. Pada tingkat organisasi masyarakat sipil dan berbagai organisasi non-pemerintah lainnya, dialog telah menjadi arus utama opini publik.
Dialog juga mendapat dukungan internasional. Pada saat bertemu Menteri Luar Negeri (Menlu) RI Marty Natalegawa, Menlu Amerika Serikat Hillary Clinton sempat menanyakan masalah pelanggaran HAM di Papua dan menyarankan dialog terbuka Pemerintah RI dengan pemimpin Papua. Pada APEC Summit di Honolulu, Hawaii, Hillary Clinton mengulang imbauannya tentang dialog kepada Pemerintah Indonesia. Di kalangan internasional, dialog juga dianggap sebagai cara demokratis untuk mengakhiri pelanggaran HAM di tanah Papua.
Tampaknya instrumen untuk persiapan dialog sudah disiapkan. Pemerintah telah membentuk Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) dan menunjuk Letjen (purnawirawan) Bambang Darmono sebagai pimpinannya. Proses pembentukan UP4B melalui Perpres 65-66/2011 yang dimotori Setwapres RI juga telah melibatkan banyak pihak, terutama sejumlah organisasi masyarakat sipil.
Konferensi Perdamaian Tanah Papua pada Juli 2011 yang dihadiri wakil-wakil kabupaten/kota se-tanah Papua di sisi orang asli Papua dan Menko Polhukkam Djoko Suyanto di sisi pemerintah menegaskan bahwa dialog adalah jalan terbaik. Kehendak dan niat kedua pihak ditampakkan pertama kali di sana.
Dialog Jakarta-Papua harus menjadi agenda politik bersama. Tahap pradialog atau persiapan dialog harus dikelola dengan hati-hati. Pembicaraan awal yang berhasil menyepakati tentang unsur-unsur representasi, format, mekanisme, dan agenda dialog akan menentukan keberhasilan dialog. Karena itu, pemerintah dan pihak-pihak yang mewakili masyarakat Papua perlu membangun komunikasi yang konstruktif untuk sama-sama menemukan kepentingan dan platform bersama.
Perbedaan-perbedaan posisi politik sebaiknya tidak ditonjolkan agar suasana ramah dan saling percaya bisa terbangun. Niat yang kuat untuk saling memberi dan menerima akan membuka jalan bagi dialog yang produktif, adil, dan bermartabat. Semakin tinggi kadar kesepakatan di dalam proses pradialog dan dialog, semakin tinggi pula tingkat legitimasi hasil dialog. Semakin tinggi legitimasi hasil dialog, semakin tinggi pula kemungkinan keberhasilan implementasinya.
Pemerintah berkepentingan agar dialog dapat menghasilkan kesepakatan damai yang dapat diterima sebagian besar rakyat Papua, pemerintah, dan publik internasional. Karena itu, kita semua berkepentingan untuk menjaga agar proses dan substansi hasil dialog bukan merupakan hasil rekayasa sepihak. Mengingat modal awal yang baik yang telah dimiliki orang asli Papua, masyarakat sipil lainnya, pemerintah, dan UP4B, sudah sepantasnya kita berharap sesuatu yang baru dan lebih baik daripada sebelumnya. Demi Papua baru di dalam Indonesia baru yang damai dan berkeadilan.
Pada 2009, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam bukunya, Papua Road Map, mengungkap empat akar masalah konflik Papua. Pertama, sejarah dan status politik tanah Papua. Kedua, kekerasan negara dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Ketiga, marjinalisasi dan efek diskriminatif modernisasi dan migrasi terhadap warga asli Papua. Keempat, kegagalan pembangunan yang terlihat dari kemacetan pendidikan dasar, pelayanan kesehatan di tingkat kampung, dan ketiadaan program pemberdayaan ekonomi kampung yang signifikan.
Untuk menyelesaikan akar masalah itu, LIPI merekomendasikan dialog Jakarta-Papua, yang jika berhasil dengan legitimasi tinggi, kemudian diharapkan dapat membuka jalan bagi rekonsiliasi, penegakan HAM, rekognisi, dan paradigma baru pembangunan bagi penduduk asli Papua. Wajah Indonesia di Papua yang masih didominasi kekerasan dan ketidakadilan diharapkan dapat diubah menjadi lebih ramah, merangkul, adil bagi orang asli Papua.
Kekerasan dan Pelanggaran HAM
Jalan bagi dialog Jakarta-Papua mulai terbuka karena tekanan konflik kekerasan di Papua mengalami eskalasi. Setidaknya, hal tersebut bisa diamati selama setahun terakhir. Pertama, kekerasan yang terkait dengan kelompok sipil bersenjata (KSB), misalnya di Puncak Jaya yang terjadi lima kali. Di Paniai, KSB mengganggu peringatan Hari Kemerdekaan RI. Lebih parah lagi, penyerangan (penembakan dan pembunuhan) oleh orang tak dikenal (OTK) di sekitar Jayapura dan Abepura (10 kasus pada Juli dan Agustus).
Kedua, kekerasan oleh aparat Polri/TNI. Di Moanemani dan Nabire, aparat Polri/TNI melakukan kekerasan terhadap warga sipil Papua. Di Jayapura, pada September 2011, kapolresta dipraperadilankan karena dugaan penganiayaan. Yang memprihatinkan, di Padang Bulan, Abepura, aparat gabungan Polri/TNI membubarkan Kongres Rakyat Papua III dengan brutal, menganiaya sejumlah warga, dan menewaskan enam orang Papua. Ketiga, kekerasan horizontal pilkada. Di Lanny Jaya, Kabupaten Puncak, konflik pilkada antar-pendukung kandidat bupati menyebabkan korban 21 orang tewas.
Dinamika politik dan pengelolaan keamanan di Provinsi Papua masih diwarnai tindak kekerasan --bahkan pelanggaran HAM-- hingga akhir 2011. Seringkali penegak hukum gagal memastikan identitas pelakunya --dengan menyebut OTK (orang tak dikenal)-- sehingga tidak dapat dilakukan penegakan hukum. Jikapun pelakunya diketahui adalah aparat Polri/TNI atau massa partai politik atau etnis tertentu, pemerintah tidak melakukan penegakan hukum. Fenomena impunitas, pembiaran, dan pelanggaran HAM masih lestari.
Kebuntuan Politik dan Internasionalisasi
Di Jayapura dan beberapa kota lainnya, Komite Nasional Papua Barat (KNPB) mengadakan demonstrasi menuntut referendum pada 2 Agustus 2011. Demo itu terkait dengan seminar oleh ILWP yang mempersoalkan Pepera 1969 di London yang dimotori Benny Wenda.
Di Selandia Baru, ada Pacific Islands Forum yang diwarnai demo sejumlah kecil aktivis Papua Merdeka yang berbasis di Australia. Aksi demo itu sempat mengundang komentar Sekjen PBB, Ban Ki-moon, bahwa masalah West Papua disarankan untuk dibawa ke Komite Dekolonisasi PBB.
Di Jayapura, Kongres Rakyat Papua III yang diselenggarakan pada 17-19 Oktober 2011 secara sepihak mengumumkan berdirinya Republik Demokratik Papua Barat dan pemerintahan transisi. Telah ditunjuk Forkorus Yaboisembut sebagai presiden dan Edison Waromi sebagai perdana menteri. Lima orang dijadikan tersangka makar.
Dalam pelaksanaan otonomi khusus (otsus), inkonsistensi pemerintah pusat kembali terjadi. Agus Alua dan Hana Hikoyabi, yang terpilih sebagai anggota MRP, dibatalkan oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Keburukan ini dilanjutkan dengan pemecahan MRP menjadi dua, di Papua dan Papua Barat, yang meningkatkan kesan kesewenang-wenangan dan inkonsistensi pelaksanaan Undang-Undang Otsus oleh pemerintah pusat.
Kebuntuan politik di tanah
Papua merupakan akibat aspirasi Papua merdeka yang ditangani dengan pendekatan politik keamanan (sekuritisasi). Kebijakan politik pemerintah (baca Kemendagri) juga masih berorientasi pada politik sekuritisasi dan mengabaikan semangat otsus, sehingga memperdalam kebuntuan politik di Papua dan ketidakpercayaan terhadap pemerintah. Pelanggaran HAM adalah akibat langsung terburuk dari kebijakan tersebut. Lebih jauh, sudah pasti pelanggaran HAM memberi peluang internasionalisasi dalam pengertian yang negatif terhadap konflik Papua dan kredibilitas Pemerintah RI.
Dialog
Tim Kajian Papua LIPI berkampanye dialog sejak 2009. Buku Papua Road Map dimanfaatkan sebagai media untuk meyakinkan bahwa dialog adalah jalan yang paling bermartabat. Selama tiga tahun advokasi, LIPI telah mengembangkan Jaringan Damai Papua (JDP) dan friends of dialogue di Papua, Jakarta, serta di kalangan komunitas internasional.
Di kalangan lembaga negara, advokasi dialog relatif berhasil. Komisi I DPR-RI merupakan mitra utama LIPI dalam kampanye tersebut. Di kalangan pemerintah, LIPI bekerja sama dengan Setwapres RI sejak Jusuf Kalla masih menjabat. Setelah itu, dengan Dewan Ketahanan Nasional dan lembaga lainnya. Pelan-pelan, istilah dialog diterima, kemudian dikembangkan menjadi "komunikasi konstruktif" pada pidato Presiden RI, 16 Agustus 2010.
Di tanah Papua telah dibuat konsultasi publik di 26 kabupaten/kota, dengan pimpinan akar rumput Papua dan pendatang. Konsultasi ini penting karena memberikan dasar legitimasi bagi proses pradialog dan dialog yang akan datang, mengingat model kepemimpinan Papua yang belum begitu terpusat. Pada tingkat organisasi masyarakat sipil dan berbagai organisasi non-pemerintah lainnya, dialog telah menjadi arus utama opini publik.
Dialog juga mendapat dukungan internasional. Pada saat bertemu Menteri Luar Negeri (Menlu) RI Marty Natalegawa, Menlu Amerika Serikat Hillary Clinton sempat menanyakan masalah pelanggaran HAM di Papua dan menyarankan dialog terbuka Pemerintah RI dengan pemimpin Papua. Pada APEC Summit di Honolulu, Hawaii, Hillary Clinton mengulang imbauannya tentang dialog kepada Pemerintah Indonesia. Di kalangan internasional, dialog juga dianggap sebagai cara demokratis untuk mengakhiri pelanggaran HAM di tanah Papua.
Tampaknya instrumen untuk persiapan dialog sudah disiapkan. Pemerintah telah membentuk Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) dan menunjuk Letjen (purnawirawan) Bambang Darmono sebagai pimpinannya. Proses pembentukan UP4B melalui Perpres 65-66/2011 yang dimotori Setwapres RI juga telah melibatkan banyak pihak, terutama sejumlah organisasi masyarakat sipil.
Konferensi Perdamaian Tanah Papua pada Juli 2011 yang dihadiri wakil-wakil kabupaten/kota se-tanah Papua di sisi orang asli Papua dan Menko Polhukkam Djoko Suyanto di sisi pemerintah menegaskan bahwa dialog adalah jalan terbaik. Kehendak dan niat kedua pihak ditampakkan pertama kali di sana.
Dialog Jakarta-Papua harus menjadi agenda politik bersama. Tahap pradialog atau persiapan dialog harus dikelola dengan hati-hati. Pembicaraan awal yang berhasil menyepakati tentang unsur-unsur representasi, format, mekanisme, dan agenda dialog akan menentukan keberhasilan dialog. Karena itu, pemerintah dan pihak-pihak yang mewakili masyarakat Papua perlu membangun komunikasi yang konstruktif untuk sama-sama menemukan kepentingan dan platform bersama.
Perbedaan-perbedaan posisi politik sebaiknya tidak ditonjolkan agar suasana ramah dan saling percaya bisa terbangun. Niat yang kuat untuk saling memberi dan menerima akan membuka jalan bagi dialog yang produktif, adil, dan bermartabat. Semakin tinggi kadar kesepakatan di dalam proses pradialog dan dialog, semakin tinggi pula tingkat legitimasi hasil dialog. Semakin tinggi legitimasi hasil dialog, semakin tinggi pula kemungkinan keberhasilan implementasinya.
Pemerintah berkepentingan agar dialog dapat menghasilkan kesepakatan damai yang dapat diterima sebagian besar rakyat Papua, pemerintah, dan publik internasional. Karena itu, kita semua berkepentingan untuk menjaga agar proses dan substansi hasil dialog bukan merupakan hasil rekayasa sepihak. Mengingat modal awal yang baik yang telah dimiliki orang asli Papua, masyarakat sipil lainnya, pemerintah, dan UP4B, sudah sepantasnya kita berharap sesuatu yang baru dan lebih baik daripada sebelumnya. Demi Papua baru di dalam Indonesia baru yang damai dan berkeadilan.
0 komentar:
Posting Komentar