Senin, 25 Juni 2012

Sosok Alfons Loemau dalam 'Melawan Skenario Makar'

Kombes Pol. (Purn) Alfons Loemau, M.Si, M.Bus
Dalam BUKU “Melawan Skenario Makar : Tragedi 8 Pamen Polri Di Balik Kejatuhan Presiden Gus Dur” yang kini sedang anda baca sebagian besar berasal dari catatan-catatan kecil yang terlewatkan. Sebuah kisah yang nyaris berlalu begitu saja, di balik hiruk-pikuk politik kejatuhan Presiden KH. Abdurrahman Wahid, pada akhir Juli 2001 lalu.

Sebuah peristiwa di balik “pertarungan” antara seorang presiden dengan sejumlah elite politik yang menyeret petinggi – petinggi kepolisian dan sejumlah perwiranya. Kejatuhan Presiden Aburrahman Wahid pada akhir Juli 2001, sudah tentu menarik menjadi kajian tersendiri dalam sejarah politik modern Indonesia.

Ibarat sebuah drama, buku yang anda baca sekarang ini hanyalah sepenggal episode, lantaran teramat banyak diaspora dalam sosok Alm. Mantan Presiden Gus Dur. Kisah pertentangan di dalam tubuh Polri, terkait dualisme kepemimpinan Polri antara Jenderal Pol. Drs. Surojo Bimantoro dengan Jenderal Pol. Drs. Chaeruddin Ismail telah yang menyeret-nyeret delapan perwira menengah Mabes Polri dalam pusaran pertarungan politik kekuasaan.

Inilah kali pertama dalam sejarah republik, pergantian Kapolri berujung pada terjungkalnya seorang presiden. Bagi para pelakunya, situasi sembilan tahun silam cukup dramatis. Orang Perancis punya istilah histoire repete (sejarah selalu berulang). Kejadian kekinian yang melanda petinggi  kepolisian, dalam situasi yang berbeda seakan memutar balik rekaman sembilan tahun silam.

Semoga buku ini memperkaya referensi bagi peminat studi politik dan sejarah Indonesia. Para pemerhati kepolisian dan di lingkungan polisi sendiri agar terus belajar bersama masyarakatnya menjadi polisi sipil yan lebih baik dan yang di cintai oleh publik.

Menurut Alfons, Buku ini juga di tujukan sebagai penghormatan atas jasa-jasa mendiang mantan Presiden KH. Abdurrahman Wahid yang belum genap 40 hari wafatnya beliau, masih menurut Alfons,  bagian dari demokrasi di Indonesia dan juga sebagian dari perjuangan melawan penyakit pelupa, sehingga sebagai generasi muda tidak akan pernah melupakan kejadian-kejadian besar dan yang sangat bersejarah dalam kehidupan berbangsa.

Purn. Kombes Pol. Drs. Alfons Loemau SH., Msi., Mbus, sedikit berfalsafah, “Jangan pernah mengeluh atas apapun yang terjadi dari satu keputusan yang telah diambil jika diyakini keputusan itu memang benar.”

Alfons Loemau dilahirkan di Atambua, perbatasan Nusa Tenggara Timur dan Timor Leste. Masa kecilnya hidup dalam situasi   yang mencekam. Operasi Anti Komunis oleh militer di tanah kelahirannya begitu membekas di masa kanak-kanaknya. Banyak tetangga kanan-kiri yang tidak jelas keterlibatannya pada partai terlarang kemudian ditemukan tewas tanpa kepala.

Bahkan ayah Alfons  sendiri pernah diculik oleh militer saat itu. Penculikan itu terkait dengan desas-desus  yang menyebutkan ayahnya menjadi penggerak berdirinya kabupaten baru. Penangkapan ini dilakkukan setelah ada aparat yang mengawasi ayahnya dengan ikut bertani. Rupanya penangkapan tersebut karena adanya kesalahpahaman di antara aparat sendiri. belakangan Alfons Loemau mengetahui bahwa ayahnya adalah sel dari Komando Tertinggi Intelijen (Koti) di Atambua yang pro Indonesia.

Sebagai sel Koti, ayahnya memiliki tugas membangun jembatan dan sarana jalan yang kemudian digunakan oleh tentara ketika bergerak ke Timor-Timur. Sebagai sel Koti, ayahnya juga bekerja untuk perusahaan pelayaran nasional (Pelni). Akhirnya ayahnya dilepas dan kembali ke keluarga. Namun kisah horor seputar penangkapan ayahnya itu telah memotivasi Alfons Loemau menjadi polisi. Ada satu pertanyaan yang selalu menggelitik pikirannya. “Bagaimana  aparat negara dapat sekejam itu terhadap orang-orang yang belum jelas kesalahannya?”

Setamat Sekolah Teknik Menengah di Solo, Alfons Loemau diterima sebagai Taruna AKABRI Kepolisian. Alfons Loemau menyelesaikan pendidikan AKABRI Kepolisian pada Tahun 1974. Alfons Loemau mengawali karir sebagai perwira muda polisi di Kabupaten Ende Flores Nusa Tenggara Timur. Dari Ende, Alfons pindah dan dipercaya sebagai Kepala Bagian Bimmas Polwil Timor-Timur pada tahun 1979.

Selesai tugas di Timor-Timur, Alfons Loemau kemudian pindah ke Jakarta. Ia  berkesempatan melanjutkan pendidikan sarjana di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) pada tahun 1982, Setamat PTIK, Alfons Loemau menjabat sebagai perwira Staf Perencanaan dan Penelitian pada Satuan Utama Satwa Komando Samapta Polri.

Di dua tempat inilah, Alfons Loemau mengenal lebih dekat Chaeruddin Ismail dan Surojo Bimantoro, dua orang seniornya yang 20 tahun kemudian berseteru di puncak pimpinan Polri. Alfons Loemau mengenal Mayor Pol. Chaeruddin Ismail saat sang senior menjadi Asisten sekaligus merangkap Sekretaris Prof. Dr. Harsya Bachtiar, sosiolog terkemuka dan guru besar Universitas Indonesia yang juga mengajar dan menjadi dekan PTIK.

Selama menyelesaikan skripsi, Alfons Loemau mendapat bimbingan dari Prof. Dr. Harsya Bachtiar. Hal ini membuat Alfons Loemau sering bertemu dengan Mayor Chaeruddin Ismail. Suatu hari, Alfons Loemau membawa kamus tebal karangan Hasan Sadely. Untuk keperluan skripsinya, Alfons Loemau harus menerjemahkan istilah dan terminologi kepolisian dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia.

Waktu itu  Chaeruddin Ismail tertarik dengan kamus tersebut. Alfons Loemau menawarkan, “Kalau Abang mau, ambil saja.” Kamus pun berpindah tangan. Hal-hal kecil inilah yang membuat Alfons Loemau menjadi akrab dengan Chaeruddin Ismail. Perkenalannya dengan seniornya Letkol Surojo Bimantoro terjadi ketika Mayor Alfons Loemau menjadi perwira staf di Satuan Satwa.

Saat itu Letkol Surojo Bimantoro sudah menjabat sebagai Staf Assops Kapolri. Pada suatu hari ada kunjungan pimpinan dan jajaran yang meninjau satuan satwa. Surojo Bimantoro ikut dalam kunjungan tersebut. Surojo Bimantoro kemudian tertarik dengan anjing-anjing kecil yang terawat dengan baik di kandang. Selain memiliki anjing-anjing besar seperti Herder dan Doberman, satuan satwa juga mengurusi anjing kecil jenis titipan warga ibu kota.

Surojo Bimantoro saat itu tertarik dengan anjing kecil tersebut dan meminta Mayor Alfons Loemau untuk mengirimkan anjing yang lucu-lucu itu ke rumah Surojo Bimantoro. “Dik, kalau ada  anjing jenis ini tolong ya antarkan ke rumah,” kata Surojo Bimantoro. Spontan Alfons Loemau menjawab “Siap, Ndan!”

Meskipun sudah menjawab “Siap”, perintah itu tak pernah  ia laksanakan. Alfons Loemau tahu anjing-anjing mungil itu bukan milik polisi yang dapat di ambil sesuka hati. Anjing titipan itu memang dipelihara untuk menambah pendapatan para pawang satwa. Dalam beberapa pertemuan berikutnya, Surojo Bimantoro selalu menagih Alfons Loemau untuk mengirimkan anjing-anjing lucu tersebut.

Selesai penugasan di kesatuan Satwa, Alfons Loemau kemudian mendapat posisi sebagai Komandan Patroli kota Direktorat Sabhara Polda Metro Jaya. Di tempat ini, Alfons Loemau di kenal tidak pandang bulu menghadapi penjahat jalanan. Bahkan Alfons Loemau pernah membuat jera para pembalap jalanan yang menguasai jalan protokol Jakarta di malam hari dengan aksi kebut-kebutan. Ternyata semua  pelakunya anak pejabat tinggi di negeri ini.

Sukses di Patroli Kota, Alfons Loemau mendapat “hadiah” menjadi Kepala Kepolisian Sektor (Kapolsek Menteng) pada tahun 1987 dan setahun kemudian menjabat sebagai Kepala Pusat Komando Pengendali Operasi (Kapus Kodalops) Polres Jakarta Selatan. Dari Polres Jakarta Selatan Alfons Loemau terlempar ke lembaga pendidikan. Ia menjadi dosen PTIK mulai tahun 1988.

Alfons Loemau beruntung dapat mengenyam pendidikan setara Sekolah Staf Pimpinan (Sespim) di Jepang. Program yang ia ikuti adalah The 3rd Advanced Course for Senior Police Administrator pada International Research and Training Institute for Criminal Investigation  Akademi Kepolisian Jepang  di Tokyo selama hampir enam bulan pada tahun 1991. Berbekal penugasan di luar negeri inilah Alfons Loemau kemudian mendapat kepercayaan menjadi anggota Security  Officer di berbagai acara internasional di Jakarta. Misalnya Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Non Blok dan KTT APEC pada tahun 1992.

Tugas utama sebagai pengajar di PTIK membuat Alfons Loemau termotivasi untuk terus menambah ilmu pengetahuan. Selama hampir enam tahun di PTIK, Alfons Loemau masih sempat merampungkan S-2 di  program Pasca Sarjana Ilmu Lingkungan di Universitas Indonesia. Tak hanya itu saja, ia juga mengikuti program master Bisnis di Notre Dame University, Perth, Western Australia.

Dari PTIK, Alfons Loemau kemudian dipindah sebagai Kepala Bagian Perencanaan Dinas Penelitian Dan Pengembangan (Litbang) Polri. Saat bertugas di Litbang ini Alfons Loemau kembali bertemu Surojo Bimantoro. Saat itu Surojo Bimantoro masih menjadi kombes dengan jabatan sebagai Wakapolda Bali. Alfons Loemau kebetulan memimpin tim Litbang untuk satu riset di Bali. Ketika tim yang ia pimpin menghadap Wakapolda, Alfons Loemau tidak ikut serta karena berbincang dengan seorang temannya yang juga sahabat Surojo Bimantoro.

Lantaran ketua timnya tidak menghadap Surojo Bimantoro memerintahkan memanggil Alfons Loemau naik ke atas. Akhirnya Alfons Loemau menghadap  Surojo Bimantoro. Merasa diremehkan, Alfons Loemau mendapat “semprotan” Surojo Bimantoro. Semprotan Surojo Bimantoro memang tidak bernada marah. Namun hanya menunjukkan keakraban yang lebih daripada anggota lain. Mendapat jawaban Alfons Loemau seperti itu, Surojo Bimantoro pun membalas, “ah, kamu ini sudah sombong.”

Dari Litbang Polri, setelah berhasil mengikuti seleksi tugas belajar ke luar negeri, Alfons Loemau kemudian dipindahkan ke korps Reserse. Sebagai detektif, penugasan yang menantang dan memicu adrenalin ini kerap dibebankan pada Alfons. Alfons Loemau dipercaya sebagai Wakil Direktur Tindak Pidana Tertentu (Tipiter) dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).

Ada empat tugas berat yang dibebankan di pundak Alfons Loemau seperti penyelesaian kasus jatuhnya pesawat Silk Air, pembunuhan staf UNHCR di Atambua, penyidikan korupsi BLBI, kasus bank BHS Hendra Rahardja, dan kasus pengejaran Tommy Soeharto.

Jatuhnya pesawat Silk Air milik Singapura di sekitar Palembang menjadi salah satu kasus besar yang ia tangani. Polisi menangani kasus ini setelah jatuhnya pesawat Silk Air pada Desember 1997 di sungai Musi Palembang. Tim Penyidik Mabes Polri antara lain Kombes Pol. Alfons Loemau dan Brigjen Pol. (Anumerta) Bakat Purwanto. Danri lapangan, tim investigasi mendapatkan berbagai informasi aneh yang sulit dimengerti akal sehat.

Seorang saksi, nelayan di Sungai Musi, memberi keterangan bahwa ia sempat mendengar teriakan para penumpang ketika pesawat jatuh tak jauh dari tempatnya menjala ikan. Laporan ini jelas sulit diterima akal sehat. Kecepatan pesawat jatuh sangat singkat sehingga tidak mungkin terdengar teriakan penumpang yang meminta tolong sesaat sebelum  pesawat jatuh. Cerita lain adalah kemungkinan pesawat tersebut tertembak rudal. Teori ini muncul karena jatuhnya pesawat tak jauh dari lokasi latihan tempur di Baturaja, Sumatera Selatan.

Teori ini dikuatkan dengan temuan serpihan-serpihan sepatu penumpang yang terdapat sobekan-sobekan seperti tersayat benda sangat tajam. Jadi tim bekerja, berbekal informasi yang  sangat minim.  Apalagi Tim Penyidik Mabes Polri bekerja setelah setahun peristiwa jatuhnya pesawat tersebut. Semua penanganan awalnya dilakukan oleh Departemen Perhubungan, terutama oleh Dirjen Perhubungan Udara yang kala itu dijabat oleh Zainuddin Sikado. Tim mengalami kesulitan besar untuk membuat kesimpulan dari sebuah TKP yang telah rusak.

Bangkai pesawat yang telah diambil dari dasar Sungai Musi dan dikumpulkan di halaman sekolah penerbangan Curug Tangerang sudah mengalami pengkaratan. Sebagian badan pesawat yang terbuat dari aluminium pun sudah dipenuhi bubuk putih, sebagai bagian reaksi kimia yang terjadi. Penyidikan polisi diperlukan terkait dengan klaim asuransi yang harus dibayarkan kepada maskapai dan 104 korban penumpang pesawat Silk Air. Penyidikan berusaha memberikan kesimpulan tentang sebab musabab kecelakaan.

Berbagai data dan rekaman di perlukan seperti rekaman cuaca, (weather), kemungkinan teknik seperti engine failure  atau sebab kesalahan  manusia (human error). Dari catatan cuaca sepanjang Jakarta menuju Singapura termasuk di kawasan Palembang, tidak ada laporan cuaca buruk yang dapat membahayakan perjalanan pesawat. Demikian pula dengan kesalahan manusia, kemungkinannya sangat kecil.

Tsu Way Ming, pilot yang menerbangkan  Boeing 737 Seri 36-N dengan nomor penerbangan 185 Silk Air, bukanlah pilot baru. Ia terlatih dengan Skill yang baik dan berkemampuan fisik prima sebagai mantan penerbang Angkatan Udara Singapura. Tsu Way Ming adalah penerbang tempur  pesawat  A-45/Skyhawks dan A-4SU-Super Skyhawks dengan tingkat intelektualitas baik, sedangkan persoalan teknis seperti engine failured hanya dapat dilakukan dengan membaca kotak hitam atau black box.

Namun kotak hitam itu hanya dapat dibaca oleh perusahaan pembuat pesawat Boeing di Amerika Serikat. Selain rekaman kotak hitam, tidak ada data dan saksi pembanding. Jika terjadi kerusakan mesin tentu saja Boeing tidak akan langsung menyebutkan bahwa ini kerusakan mesin. Karena ini memiliki implikasi berupa munculnya gugatan dari ahli waris korban. Jadi, bagi tim penyidik, persoalan ini menjadi dilematis, padahal untuk membuat kesimpulan yang baik harus diikuti dengan fakta dan data yang akurat.

Rekaman kotak hitam yang diperoleh memang menunjukan ada sekian detik dari CVR (cockpit voice recording) dan FDR (flight data recording) yang tidak terbaca.  Namun hal ini tidak ada yang bisa menyanggah bahwa rekaman yang hilang tersebut merupakan sesuatu petunjuk penting. Jadi setelah berdiskusi panjang lebar, termasuk dengan ketua tim pakar penerbangan dari ITB oleh Prof. Dr.  Utoyo Diran, tim berangkat ke Singapura dengan membawa titik kesimpulan.

Tim pun berangkat ke Singapura untuk memaparkan hasil penyelidikan dan dibandingkan dengan hasil penyelidikan Kepolisian Singapura. “Ini adalah penyelidikan bersama atau joint team investigation,” kata Alfons Loemau. Tim terbang ke Singapura membawa satu koper berisi berkas-berkas penyidikan dan slide OHP yang berisi bahan pemaparan tim. Sebelum tim investigasi Indonesia  melakukan  pemaparan, polisi Singapura lebih dulu memaparkan hasil investigasi mereka.

Pemaparan dilakukan dengan in focus computer canggih dan disimulasikan secara realtime dengan animasi seperti perkembangan cuaca, ketinggian pesawat, sampai kemudian jatuh di Sungai Musi Palembang. “Melihat pemaparan yang hebat itu, kami minder juga. Apalagi hasil paparan kami masih kami tulis manual dengan spidol pada slide butut. Akhirnya kami sepakat, tidak membuka koper untuk menayangkan slide yang sudah uzur itu,” kata Alfons Loemau mengenang.

Sebagai gantinya, Alfons Loemau dan (Alm) Brigjen Pol. Bakat Purwanto, mencoba  mencari in focus di kompleks pertokoan di kawasan Orchad Road. Apalagi saat itu in focus masih menjadi barang langka di Indonesia. Masalahnya, harga in focus saat itu masih sangat mahal. “Ketika kami menggesek kartu kredit kami tetap saja tak cukup dananya. Dengan berbagai cara akhirnya in focus tersebut dapat kami beli,” jelas Alfons Loemau.

Pada saat itu dari hasil serangkaian fakta hasil penyidikan kami mengarah pada human error. Karena saat itu tim mendapatkan informasi Capt Tsu Way Ming memiliki kecenderungan suka mengutak-atik peralatan sehingga kemungkinan alat pesawat yang rusak. Ada juga informasi yang menyebutkan bahwa pilot Tsu Way Ming ini memiliki kebiasaan bermain judi taruhan di Singapura sehingga ada dugaan dia terlilit hutang. Inilah asumsi-asumsi yang terbangun untk menguatkan hipotesis kemungkinan faktor kesalahan manusia. Apalagi soal hobi dari Tsu Way Ming memang sempat beredar

Di media massa. Atas kesimpulan awal paparan kami tersebut,  Prof. Dr.  Utoyo Diran mendapat pertanyaan dari polisi Singapura.  Apa latar belakang dan keahlian tim penyidik Indonesia? Mereka menanyakan apakah ada  penyidik yang memiliki latar belakang accounting? Teryata dugaan keterkaitan kebiasaan berjudi pilot Tsu Way Ming dengan kecelakaan itu sudah di selidiki oleh polisi Singapura. Bahkan Polisi Singapura telah bekerja lebih jauh, menyelidiki persoalan ini dengan menyewa konsultan dari Price Waterhouse and Cooper.

Kesimpulannya, walaupun  pilot Tsu Way Ming memiliki hobi taruhan tetapi  asset-asset yang dia miliki cukup besar, keluarganya juga memiliki kesejahteraan yang baik sehingga kecil kemungkinan dia melakukan bunuh diri untuk mendapatkan klaim asuransi.

Apalagi terungkap satu kebiasaan dalam keluarga Cina, sebelum berangkat Tsu Way Ming menelepon memberi kabar istrinya di Singapura. Dalam percakapan tersebut,Tsu berjanji mengajak keluarga mereka akan makan malam bersama. Agenda itu sebagai perayaan salah satu putrinya yang baru saja mendapatkan beasiswa dari pemerintah Singapura. Janji dari keluarga Cina biasanya harus dipenuhi, kecuali oleh sebab lain yang luar biasa.

Akhirnya kesimpulan dari joint team investigation adalah non conclusive conclusion, kesimpulan yang tidak dapat disimpulkan. Tetapi inilah kesimpulan yang bisa kami lakukan karena  kami tidak dapat gegabah  membuat satu kesimpulan tanpa satu dasar argumem yang kuat. Selain penyelidikan jatuhnya pesawat Silk Air, kasus-kasus kejahatan yang melibatkan antarnegara, juga menjadi konsentrasi penyidik Alfons Loemau. Khususnya, penyelidikan korupsi bantuan likuiditas Bank Indonesia, dari Bank Indonesia kepada Bank Harapan Sentosa .

Peyelidikan kasus ini berlangsung ketika Kombes Pol. Alfons Loemau masih bertugas sebagai penyidik di Korps Reserse. Saat itu, berkas Hendra Rahardja, Serni Konogian, dan Eko Edi Putranto sebagai pemilik bank BHS ternyata sudah pernah dijadikan tersangka dan ditahan serta untuk penangguhan. Namun mereka belakangan mendapat penangguhan penahanan. Saat penyidikan berlanjut, semua tersangka kasus BLBI Bank BHS sudah tidak lagi berada di Indonesia.

Untuk dapat menyeret mereka kembali ke depan sidang apalagi waktu itu belum ada sidang in absentia [pemeriksaan suatu perkara tanpa kehadiran pihak tergugat (dalam perkara perdata dan tata usaha negara) atau terdakwa (dalam perkara pidana)]maka POLRI meluncurkan Red Notice ke Markas Besar Interpol di Lyon Perancis. Red Notice  inilah yang menjadi dasar bagi kepolisian di seluruh negara yang tergabung di dalam Interpol untuk menangkap Hendra Rahardja, dkk.
Suatu hari di tahun 1999, Hendra Rahardja mantan komisaris utama Bank BHS, mendarat di Bandara Sydney Australia setelah melakukan perjalanan dari Hong kong.  Atas dasar Red Notice  Interpol itulah, Hendra Rahardja yang diduga menggelapkan uang BLBI sebesar Rp. 1,95 triliun ini ditangkap oleh polisi Federal Australia. Penangkapan oleh polisi Australia ini, oleh pengacara Hendra Rahardja OC Kaligis, dipraperadilan.

Gugatannya diajukan ke pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Menghadapi praperadilan ini, Alfons Loemau sebagai penyidik Reserse bersama perwira Badan Pembinaan dan bantuan hukum POLRI, Kombes Pol. Suyitno Landung, Jarot Sutiyoso, dan Rudi Haryanto menjadi pengacara yang mewakili Mabes Polri. Saat itu, OC Kaligis termasuk Pengacara  memenangkan kasus yang ia tangani di PN Jakarta Selatan.

Benar saja, PN Jakarta Selatan dalam amar putusannya memenangkan gugatan praperadilan Hendra Rahardja tersebut. Putusan ini tentu saja mengecewakan tim pengacara Mabes Polri dan tim mengatakan keberatan atas keputusan tersebut. Atas keberatan tersebut, pada akhir persidangan hakim mempersilahkan untuk naik banding. Keputusan dan dasar peryataan hakim itulah yang kemudian menjadi bahan analisis tim. Teryata dalam kasus praperadilan, demi terciptanya asas peradilan yang cepat atas kepastian hukum.

Kasus praperadilan, ternyata tak bisa dibanding. Putusan pra peradilan hanya boleh dilakukan kasasi. Berdasarkan hasil pengkajian ini, Tim Pengacara Polri segera melayangkan kasasi atas putusan PN Jakarta Selatan. Apalagi Tim memiliki dasar bahwa polisi Indonesia tidak pernah melakukan penangkapan dan penahanan. Mabes Polri hanya mengirimkan surat  red  notice ke Interpol karena Hendra Rahardja tidak memiliki niat baik untuk datang menyelesaikan perkaranya dengan kepolisian dan aparat hukum di Indonesia.

Menurut Alfons Loemau, ia melihat ada yang janggal dari amar putusan hakim di PN Jakarta Selatan. Kejanggalan ini dipelajari dengan seksama, apalagi Tim memiliki  rekaman video yang merekam keseluruhan jalannya sidang putusan pra peradilan tersebut. Kejanggalan itu karena amar putusan tersebut tidak di baca secara lengkap. PN Jakarta Selatan, dikenal sebagai “kuburan” bagi aparat penegak hukum baik jaksa maupun polisi.

Dengan track record PN Jakarta Selatan dan kelihaian OC Kaligis yang selalu memenangkan perkara di PN Jakarta Selatan, tentu bagi akademisi seperti Alfons Loemau akan terus mempertanyakan di mana letak kehebatan pengacara ini. Maka, hasil rekaman video tersebut,  kemudian di analisis dan hasilnya ditemukan dua hal. Pertama,  kalimat dalam amar putusan ada yang terpenggal dan tidak dibacakan.

Kedua, terdapat peryataan yang keliru dari hakim. Hakim saat itu mengatakan, “jika ada keberatan dengan keputusan ini silahkan naik banding.” Padahal putusan praperadilan tidak bisa di banding. Walaupun bukti rekaman belum dapat dijadikan alat bukti yang sah. Namun tetap dilakukan dua hal, yaitu melanjutkan permohonan kasasi ke MA, dan melaporkan  hakim tersebut kepada hakim pengawas di Pengadilan Tinggi.

Hasilnya, hakim tersebut di nonpalukan. Putusan hakim pengawas daerah agaknya menyetujui argumen dan fakta-fakta yang kami ajukan, bahwa memang ada kekeliruan dalam memberikan keputusan. Teryata permohonan kasasi dan tim pengacara Mabes Polri dikabulkan oleh Mahkamah Agung. Bahkan putusan MA ini menjadi  putusan kasasi pertama yang dikabulkan MA dalam sejarah praperadilan di Indonesia.

Putusan Kasasi MA itu berarti membatalkan keputusan praperadilan PN Jakarta Selatan. Situasi yang berkembang lebih cepat di bandingkan dengan proses pengajuan kasasi di MA, dan diluar jangkauan para penyidik. OC Kaligis membawa Surat Putusan PN Jakarta Selatan ini ke pengadilan tingkat pertama sampai Supreme Court di Australia  OC Kaligis meminta kepada hakim di Supreme Court Australia agar putusan PN Jakarta Selatan di perhatikan dan di akomodir.

Sebelum Supreme Court membuat keputusan, Pengadilan Tinggi Australia meminta bahan dan saksi pembanding dari Indonesia. Atas permintaan tersebut, Alfons Loemau dan Tim pengacara Mabes Polri kembali melakukan diskusi untuk menentukan siapa pengacara Indonesia yang dapat menjadi saksi pembandi di Supreme Court Australia apa lagi waktu itu ada prasyarat bahwa saksi pembanding ini harus pengacara independen atau independent lawyer.

Tentu saja pengacara independen dengan kualifikasi memiliki jam terbang dalam peradilan internasional dalam pertimbangan aspek nasionalisme atas dasar itulah tim pengacara Mabes Polri kemudian mengajak Rahyono Abikusno, master hukum dari luar negeri, dan juga cucu salah satu pendiri republik ini, Mr. Abikusno Tjokrosoejoso. Sebagai pendamping Rahyono, ikut pula Amir Syamsuddin, SH.

Namun persoalan tidak selesai sampai di situ, sebagai perwira Polri memang sudah ada aturan baku terkait dengan uang perjalanan dinas ke luar negeri, sedangkan ke dua pengacara yang di pilih karena ketentuan harus independent lawyer  sempat menimbulkan kerumitan menyangkut uang saku. “Padahal mereka mewakili Indonesia. Namun akhirnya dengan “berhalo-halo” kanan-kiri dapat juga uang saku untuk keduanya,” tutur Alfons Loemau.

“Saya sering ikut berpikir bagaimana seorang letnan kolonel harus ikut pusing memikirkan uang saku dan transportasi  perjalanan dinas wakil Indonesia dari lembaga sebesar Mabes Polri. Jalan keluar waktu itu adalah mencari uang sendiri untuk tugas mengamankan uang negara yang dikorupsi sampai ke luar negeri,” kata Alfons Loemau mengenang.

Maka, berangkatlah Rahyono dan Amir Syamsuddin mewakili Indonesia menjadi saksi pembanding di Supreme court Australia. Kesaksian ini diperlukan karena Supreme court Australia ingin mendapatkan kejelasan tentang system hukum yang berlaku di Indonesia dan apakah keputusan PN Jakarta Selatan sudah berkekuatan hukum tetap atau belum. Penjelasan ini sangat penting bagi pengadilan Australia untuk memutuskan perkara ini. Maka dari pihak Hendra Rahardja, OC Kaligis memberikan penjelasan dan dari pihak Indonesia, Rahyono Abikusno berdiri di depan sidang  Supreme court juga memberikan argumennya.

Dalam perjalanan sidang tersebut, media massa sempat memberitakan dugaan praktek money laundering atau pencucian uang yang dilakukan Hendra Rahardja sehingga dia dapat ke luar negeri. Menghadapi pemberitaan miring tersebut, OC Kaligis beralasan bagaimana tuduhan itu dapat muncul sementara pokok persoalan Hendra Rahardja sendiri belum di buka di persidangan.

Letkol. Alfons Loemau, Letkol. Suhardi Alius, dan Kombes. Pol. Rahmat DP dari Interpol menjadi tim pemantau dari Mabes Polri yang mengikuti persidangan tersebut. Keikutsertaan Tim Mabes ke Australia sebagai Tim informal yang mendampingi kedua pengacara tersebut. Berdasarkan hukum Australia, polisi tidak boleh terlibat di dalam pengadilan. “Pertimbangannya kami-lah yang paling tahu berkas dan anatomi persoalan tersebut, apalagi kami juga terlibat dalam persidangan di PN Jakarta Selatan,” jelas Alfons Loemau.

Melihat keseriusan Alfons Loemau dari PN Jakarta Selatan sampai ke Australia, maka muncul berbagai upaya dan pendekatan dari OC Kaligis. Ini seperti yang disampaikan oleh beberapa teman di Mabes Polri agar  Alfons Loemau tidak perlu mengikuti kasus ini terus-menerus. “Ada teman yang bilang, sudahlah baik-baik saja sama teman,” ujarnya menirukan seorang koleganya.

Bagi Alfons Loemau, perkara ini bukan persoalan pertemanan, tetapi merupakan tugas negara mewakili Institusi Polri. “Bagi saya ini sebuah kehormatan yang akan dicatat di dalam sejarah, bagaimana kepolisian negara Indonesia memperjuangkan hukum secara all out  dalam segala keterbatasannya, untuk mengembalikan uang negara dari seseorang yang sudah pernah dinyatakan sebagai tersangka dan kabur ke luar negeri sampai tertangkap kembali dan diajukan ke muka persidangan,” kata Alfons Loemau penuh semangat.

Atas pengalamannya dalam penyelesaian kasus BLBI khususnya kasus Hendra Rahardja dengan bank BHS,  Alfons Loemau ditunjuk Mabes Polri mewakili Polri dalam tim yang menyusun Rancangan Undang-undang Anti Korupsi.  Saat itu, Alfons Loemau bergabung bersama ahli Hukum terkemuka seperti Prof. Dr. Romly Atmasasmita, Dr. Hamid Awaluddin (mantan menteri Hukum dan HAM), Choirul Imam, SH., (Mantan Direktur Penyidikan pada Jampidsus Kejaksaan Agung dan mantan anggota Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara / KPKPN cikal bakal KPK).

Tim yang bekerja untuk membentuk lembaga yang menjadi cikal bakal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)  ini, kemudian melakukan studi banding ke berbagai negara, seperti ke Hong Kong dan Australia. Di Australia, dalam satu seminar antikorupsi, di mana Alfons Loemau menjadi salah satu pembicara, tiba-tiba Alfons Loemau turun dari podium dan berjalan ke arah Choirul Imam yang duduk seagai peserta. Alfons Loemau pun membisikkan sesuatu ke telinga koleganya yang jaksa “Apa bahasa inggrisnya pencucian uang?” kata Choirul Imam mengenang.

Aksi nekad Alfons Loemau terebut sangat mengesankan Jaksa  yang pernah menandatangani surat penyidikan bagi mantan Presiden RI Suharto. Bagi Alfons Loemau sendiri, lebih baik berani bertanya di depan forum penting dari pada terjadi kesalahpahaman atau misunderstanding. “Terjadi blank saat saya berpidato dalam bahasa inggris, padahal kata itu sering kita ucapkan,” katanya terkekeh.

Belakangan, lewat menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yusril Ihza Mahendra, pemerintah berhasil mengembalikan sebagian aset Hendra Rahardja dari luar negeri dan ini tak lepas dari kerja keras anggota polisi bernama Alfons Loemau. Hendra Rahardja, Mantan Komisaris Utama Bank BHS pada tahun 2002 di nyatakan meninggal dalam penjara di Melbourne Australia.

Tugas-tugas lain yang tak kalah menantang adalah saat Alfons Loemau di minta sebagai tim penyidik kasus dugaan pembunuhan Staf UNHCR di Atambua, dan terlibat dalam tim analis perburuan Tommy Soeharto. Menghadapi tugas berat itu Alfons Loemau berprinsip: “Tugas berat dan berbahaya seperti kasus penangkapan Tommy Soeharto dan kasus UNHCR di Atambua berarti siap menggadaikan nyawa. Tetapi, tugas ini harus selesai demi kepentingan negara. Tugas-tugas seperti inilah yang harus di tegakkan sampai titik darah penghabisan.”

Penyidikan bermula dari kasus terbunuhnya tiga staf UNHCR, badan dunia PBB untuk urusan pengungsi di Atambua, perbatasan dengan Timor Timur (Timtim) pada tanggal 6 September 2000. Penyerbuan ke markas UNHCR dilakukan oleh ratusan anggota milisi Timtim pro integrasi. Seperti di beritakan Reuters, pada Rabu, 6 September 2000, mengutip pejabat UNHCR Joseph Yeo, tiga orang stafnya tewas karena insiden itu.

Atas insiden tersebut UNHCR meminta aparat TNI maupun Polri di NTB untuk mengevakuasi sekitar 25 staf UNHCR lainnya. Mereka juga minta bantuan kepada pasukan PBB di Timtim untuk mengevakuasi rekannya. Penyerbuan oleh milisi itu dipicu atas terbunuhnya salah satu mantan pemimpin Pasukan Pejuang Timtim (PPTT), Olivio Mendosa Moruk, 45 tahun. Pembunuhan itu terjadi di desa Wanibesak. Dari berbagai informasi, ia di bunuh oleh pemuda-pemuda desa setempat yang kesal dengan ulahnya mendekati gadis desa setempat.

Setelah terlibat cekcok, Olivio Mendosa Moruk kemudian dibunuh dan kepalanya dipenggal. Dari cerita yang beredar, pemenggalan kepala ini dilatarbelakangi oleh cerita yang menyebutkan bahwa Olivio Mendosa Moruk memiliki kesaktian dan tidak akan mati jika kepalanya tak lepas dari badan. Namun cerita ini berkembang lain di pihak milisi pengikut Olivio Mendosa Moruk. Kepala Olivio dipenggal lantaran ada isu yang menyebutkan bahwa kepala para tokoh milisi dihargai ribuan dolar oleh pasukan PBB, UNMIT yang bertugas di Timtim.

Atas kabar inilah pengikut Olivio Mendosa Moruk  kemudian membakar kampung Wanibesak. Tak puas membakar Kampung Wanibesak, ribuan pengungsi Timtim mantan milisi ini dengan membawa senjata tajam, senjata rakitan, dan senjata organik berkonvoi ribuan orang ini hingga 2 kilometer. Tujuan mereka adalah ibukota Kabupaten Belu NTT. Rupanya mereka menuju Kantor Komisi Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR).

Di depan kantor UNHCR massa mulai beringas dan dari arah massa terdengar letusan senjata rakitan, kantor dirusak dan satu unit kendaraan khusus yang parkir di halaman kartor terbakar. Dalam aksi penyerangan itu tiga staf UNHCR tewas terbakar. Bahkan Hotel Intan, sebuah hotel termewah di Atambua, juga terkena sasaran amukan para pengungsi yang didominasi para mantan pasukan PPTT serta simpatisan korban pembunuhan Olivio Mendosa Moruk.

Namun, Hotel Intan yang rusak di lempari batu itu tidak sempat dibakar lantaran aparat TNI dan Polri cepat bergerak dan mengamankan amukan massa. Untuk meredakan amarah para pengungsi, mantan panglima PPTT Joao Tavares mencoba melakukan himbauan agar tindakan dan aksi para pengungsi tidak brutal. Kapolres Belu, Ajun Komisaris Besar Polisi Drs. SM. Simatupang dan Dandim 1605/Belu Letkol Inf. Djoko Subandrio serta Komandan Sektor Pengamanan Perbatasan NTT – Timtim, Letkol Inf. Indra Hidayat terus melakukan pendekatan dan himbauan kepada para pengungsi.

Kapolres dan unsur Muspida Belu lainnya segera melakukan rapat kilat mengarahkan agar jenazah Olivio Mendosa Moruk di masukkan ke dalam peti jenasah dan diangkut kembali ke kecamatan Malak Barat, untuk di semayamkan di kediamannya. Setelah rombongan konvoi kendaraan berlalu menuju Besikama Malaka Barat maka situasi kembali reda sementara asap dari nyala api di kantor UNHCR Atambua masih terus membubung tinggi.

Pembunuhan terhadap tiga staf UNHCR tersebut menjadi  perhatian dunia internasional dan jika tidak diselesaikan dengan baik akan menjadi batu sandungan Indonesia dalam diplomasi internasional. Apalagi pada periode pasca kerusuhan setelah jajak pendapat, terbentuk opini internasional yang miring terhadap Indonesia. Ini seperti dikatakan Wakil Tetap RI di PBB, Duta Besar Dr. Makarim Wibisono, seperti ditulis Gatra.

"Apabila ada bukti-bukti nyata atau hasil-hasil konkret di lapangan seperti penangkapan atau pelaku insiden Atambua atau menjadikan pemimpin milisi sebagai tersangka, akan meningkatkan kredibilitas dari bangsa Indonesia di PBB. Berhasil tidaknya diplomasi besar kaitannya dengan kredibilitas bangsa sendiri. Apabila kita tidak dapat memberikan bukti-bukti konkret yang dapat meningkatkan diplomasi kita, maka masalah Indonesia di PBB akan semakin sulit untuk diatasi,” ujarnya.

Apa yang disampaikan Makarim Wibisono terkait dengan keputusan Dewan Keamanan PBB  nomor 1319. Keputusan ini mengharuskan pemerintah Indonesia melucuti dan membubarkan milisi sipil di perbatasan Timor Barat dan mengambil langkah-langkah hukum. Pemerintah di beri batas waktu sampai akhir bulan September 2000 untuk melucuti senjata eks Pejuang Pro Indonesia (PPI). Ada sanksi berat yang mengancam di balik resolusi Dewan Keamanan tersebut. Menteri Pertahanan Amerika Serikat William Coben mengancam melakukan embargo ekonomi jika resolusi itu tidak di jalankan dalam waktu yang secepat-cepatnya.

Menanggapi ancaman internasional, sikap pemerintah seperti dikatakan oleh Menteri Pertahanan Dr. Mahfud MD menyatakan bahwa resolusi DK PBB tersebut tidak adil. Alasannya, serangkaian tuntutan Dewan Keamanan itu sudah dilakukan oleh pemerintah. Sejak bulan Juli 1999 tercatat sebanyak 215  senjata organik, 560 senjata rakitan, 66 granat, dan 13.000 amunisi telah diserahkan oleh milisi kepada aparat keamanan.

Pada perlucutan November 1999, tercatat 303 senjata organic, 1.000 senjata rakitan serta 2.000 amunisi telah diserahkan. Aparat keamanan memang berusaha agar  penyerahan senjata itu sedapat mungkin berlangsung damai. Apabila menggunakan tindakan represif seperti sweeping dikhawatirkan akan menimbulkan benturan fisik yang tidak perlu.  Namun, karena desakan pelaksanaan resolusi itu sangat kuat, bahkan ada rencana Dewan Keamanan PBB mengirimkan misi khusus yang akan datang ke Atambua.

Menghadapi rencana kedatangan misi khusus PBB ini, presiden KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) kemudian mengirim Menteri  Koordinator  bidang Politik Sosial dan Keamanan Susilo Bambang Yudhoyono ke New York untuk bertemu dengan anggota Dewan Keamanan (DK) PBB. Langkah pemerintah ini berkaitan dengan rencana misi PBB pekan depan yang menyelidiki terjadinya kerusuhan berdarah di Timor Barat. Sumber di lingkungan Dewan Keamanan PBB mengatakan, Indonesia mengisyaratkan penundaan kunjungan DK PBB tanpa memberikan tanggal yang pasti.

Indonesia telah mengusulkan sejumlah dubes di Jakarta agar bisa mengunjungi Timor Barat sebagai alternatif menerima misi DK PBB tersebut. Tanpa persetujuan Indonesia, misi tersebut tak dapat mengunjungi Timor Barat atau Jakarta. Rencana kehadiran Susilo Bambang Yudhoyono  di PBB membuat sejumlah anggota DK PBB ingin berbicara dengannya guna menetapkan jadwal perjalanan misi DK tersebut ke Indonesia.

Misi itu diumumkan pada hari Jumat saat DK mengambil kesepakatan yang menuntut agar Jakarta secepatnya melucuti dan membubarkan milisia yang dipersalahkan atas terbunuhnya tiga pekerja PBB yang mengurusi masalah pengungsi di Atambua. Pemerintah Indonesia mengusulkan agar Misi DK PBB diganti oleh para duta besar dari negara anggota Dewan Keamanan PBB, untuk meninjau Atambua. Model ini dirasakan lebih meningkatkan dignity dan kedaulatan Indonesia.

“Kehendak untuk mengirim misi Dewan Keamanan PBB, tidak perlu dilakukan. Sebagai penggantinya disepakati negara-negara anggota DK PBB mengirim duta besarnya masing-masing di Indonesia, kata Sekretaris Kabinet, Marsilam Simandjuntak kepada pers usai sidang kabinet, Marsilam Simandjuntak kepada pers usai sidang kabinet di Bina Graha, Jakarta, Kamis 14 September 2000.

Menurut Marsilam Simandjuntak, seperti yang ditulis Kompas, mereka akan diundang Pemerintah RI mengunjungi Atambua. Dengan begitu, bukan berarti pemerintah menutup sama sekali pengiriman misi PBB tersebut. “Sudah mencapai pengertian bersama bahwa pengiriman misi tidak perlu dilakukan tapi diganti oleh duta besar masing-masing,” tambahnya.

Perkembangan yang serba cepat ini menyiratkan pentingnya aparat di lapangan yang terorganisasi dengan baik. Upaya hukum seperti bunyi Resolusi DK PBB itu mengharuskan langkah polisional yang efektif guna menunjukkan kedaulatan pemerintah di mata dunia internasional. Dalam situasi seperti ini Mabes Polri membentuk Tim Gabungan untuk menuntaskan persoalan ini.

Tim Gabungan di pimpin langsung Kepala Korps Reserse Irjen Pol Engkesman R. Hillep, sedangkan Koordinator Lapangan dipimpin oleh Kombes Pol. Gories Mere dari Polda NTT, Koordinator Tim Penyidik Alfons Loemau dan pasukan bersenapan Brimob, dipimpin oleh Kombes Pol. Rajiman Tarigan. Pasca kerusuhan, kota kecil Atambua terasa mencekam. Apalagi kota kecil yang berbatasan dengan Timor-Timur itu di tinggali oleh lebih 30 ribu pengungsi.

Para pengungsi yang terbuang dari Timor-Timur ini lebih memilih pro integrasi dengan Indonesia. Di kamp pengungsian, tidak ada sumber pencaharian sehingga mereka menjadi agresif dan nekad. Atambua memang tempat kelahiran Alfons Loemau, ia pun pernah bertugas di sana setamat dari Akademi Kepolisian. Sesampai di Atambua, Alfons Loemau dan Gories Mere segera mengunjungi uskup dan pimpinan gereja Katolik.

Kepada pimpinan gereja yang sangat dihormati oleh warga, Alfons Loemau menyampaikan maksud kedatangannya untuk meredakan suasana dan membujuk  pengungsi eks Timor-Timur yang sebagian besar beragama Katolik juga menyerahkan senjata yang masih ada tangan mereka. Kepada dua petugas yang datang, pimpinan gereja juga sangat mengkhawatirkan dan menunjukkan rasa prihatinnya atas perilaku eks milisi yang kerap membuat keributan, kurang menghargai norma kehidupan, padahal mereka beragama Katolik.

Sebagai asli putra daerah, Alfons Loemau juga menerima keluhan dari keluarganya soal kemungkinan adanya penyerangan kepada mereka jika pasukan Jakarta kembali pulang. Apalagi Atambua hanya sebuah kota kecil. Berbagai insiden selama pencarian tersangka pelaku pembunuhan staf UNHCR dan ajakan kepada para pengungsi untuk menyerahkan senjata sempat terjadi. Suatu hari ketika Tim Mabes RI yang terdiri atas Alfons Loemau, Gories Mere, Uegro Seno, Indradi Thanos sedang memantau perkembangan di sebuah kampung dekat kantong-kantong pengungsi, ada orang tua yang melapor puterinya di sandera oleh milisi.

Mendengar laporan tersebut, tim Mabes RI pun berangkat menuju lokasi yang disebut sebagai tempat penyekapan. Namun, agaknya informasi kedatangan tim sudah tersebar ke kelompok pengungsi, sehingga ketika tim sampai di kampung yang di tuju, tidak ada satupun laki-laki di kampung tersebut.

Bahkan ketika tim tiba di lokasi yang di tuju, seorang wanita kemudian lari masuk ke dalam hutan. Tiba-tiba saja lokasi tim Mabes RI sudah di kepung oleh ratusan orang bersenjata, golok, parang, bahkan senjata api. Ada juga yang membawa granat Korea yang di gantung-gantungkan di tubuhnya mirip buah kedondong. Suasanapun menjadi sangat tegang. 

Gories Mere sepertinya menjadi incaran mereka untuk di bunuh lebih dulu. Ini karena Gories membawa kamera dan banyak memotret suasana di lokasi. Selain Gories Mere, Uegro Seno juga menjadi incaran kedua, karena membawa handycam. Di mata mereka, alat seperti kamera bisa menjebak mereka.

Mereka sudah marah sekali dan bisa membacok siapapun. Walaupun membawa senjara serbu Scorpion, Alfons Loemau menghitung jika pecah keributan, tetap saja akan ada korban dari para perwira polisi. Hal ini karena jumlah massa yang sangat banyak dan di antara mereka juga ada yang membawa granat.

Namun, dengan persuasi, Alfons Loemau menggunakan bahasa kampungnya memberi penjelasan bahwa kedatangan ke kampung mereka untuk menjelaskan kejadian yang sebenarnya, termasuk kepada orang asing. Namun, perundingan dengan suasana tegang itu cukup alot, karena mereka sangat curiga kepada orang luar. “Kami berjuang terus di sini, nanti kamu yang datang dari Jakarta, kamu yang naik pangkat, tetapi kami masih berjuang terus,” Eudigio Manek, adik dari Olivio Mendosa Moruk, yang juga salah seorang pimpinan milisi. “Kira – kira sampai dua jam kami berunding, sampai akhirnya kami diperbolehkan pulang dengan selamat.“ kata Alfons Loemau lega.

Setelah ke luar masuk kampung dan kantong-kantong pengungsi, upaya untuk menarik senjata dari para milisi Pejuang Pro Indonesia (PPI) kemudian menunjukkan hasil.  “Waktu itu, jika sampai batas mereka tidak menyerahkan senjata, polisi akan melakukan razia. Razia langkah terakhir, karena beresiko memunculkan jatuhnya korban,” kata Alfons Loemau.

Langkah ini kemudian membuahkan hasil. Ratusan senjata berkumpul, dan beberapa pimpinan milisi bersedia untuk menyerahkannya kepada aparat Indonesia. Sebagai langkah konkret, atas resolusi Dewan Keamana tersebut, pemerintah Indonesia, lewat Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri bersama para duta besar negara Anggota Dewan Keamanan akan terbang ke Atambua, untuk menerima penyerahan senjata secara simbolis. Kedatangan wakil Presiden dan perwakilan negara asing pada Minggu, 24 September 2000 jelas membutuhkan pengamanan ekstra ketat.

Kombes Pol. Alfons Loemau berpakaian sipil, siang itu berada di halaman Polres Atambua, bersiap menerima kedatangan Wakil Presiden. Alfons Loemau bahkan memiliki tugas khusus mengawal Eurico Gutteres tokoh pejuang pro integrasi. Apalagi Eurico Guterres direncanakan akan menyerahkan secara simbolis senjata-senjata tersebut kepada Wapres Megawati Soekarnoputri.

Minggu siang yang terik dan berdebu di halaman Polres Atambua di Belu, perkembangan situasi berubah dengan cepat. Puluhan wartawan dari media nasional dan iternasional, baik cetak maupun elektronik, sudah siap meliput kegiatan bersejarah itu, karena penyerahan senjata tersebut sudah memasuki minggu terakhir September, batas waktu   yang diberikan oleh Dewan Keamanan PBB. 

Beberapa menit sebelum helikopter Super Puma yang membawa Wakil Presiden dan rombongan mendarat, muncul perintah baru. Perintah untuk tidak memunculkan Eurico Gutteres, saat penyerahan senjata. Perintah ini setelah  Memkosospolkam  Susilo Bambang Yudhoyono baru pulang dari Markas Besar PBB di New York menyampaikan informasi agar pelaksanaan penyerahan senjata tersebut tidak sampai memperlihatkan hubungan baik antara pimpinan milisi dengan aparat keamanan Indonesia.

Di Atambua, perintah berantai ini sampai ke Irjen Pol. Engkesman Hillep dan diteruskan ke telinga Kombes Pol. Alfons Loemau yang mendapat tugas khusus menempel Eurico Gutteres. Ketika helikopter  sudah berputar-putar di langit Atambua, Eurico Gutteres yang duduk di deretan depan podium ditarik Alfons Loemau, “Alin mai tuir ha, u lai (Adik, mari ikut saya dulu). Ini kami ada tua yang akan bertemu,” kata Alfons Loemau.

Kaget dengan ajakan yang mendadak, apalagi ajakan disampaikan dalam bahasa kampung, Eurico Gutteres pun menyingkir dari podium VVIP. Bersama Alfons Loemau, Eurico Gutteres melangkah masuk ke dalam salah satu ruangan di Polres Atambua. Perintah ini memang beralasan karena, apalagi penyidikan kepolisian saat itu belum juga menemukan pelaku pembunuhan ketiga staf UNHCR. Apalagi ada resistensi dari  kelompok-kelompok pengungsi dengan melakukan aksi tutup mulut.

Alasan aksi tutup mulut ini seperti dikatakan Alfons Loemau karena ada ketakutan yang luar biasa di kalangan pengungsi. “Bapak ‘kan dari Jakarta. Kami cerita, Bapak pulang. Kami nanti dibunuh,” kata Alfons Loemau menirukan perkataan warga. Disalah satu ruangan di Polres, Eurico Gutteres di ajak berbincang-bincang dengan Engkesman Hillep, dan Kapolda NTT Jhon Lalo. Pembicaraan ini berlangsung penuh semangat, tujuannya untuk mengalihkan perhatian Eurico Guterres dari acara penyerahan senjata kepada Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri. 

Akhirnya, acara penyerahan senjata itu selesai dan Wapres Megawati Soekarnoputri kembali terbang denga helikopternya. Sadar telah dijebak dan Wapres Megawati Soekarnoputri telah terbang kembali, Eurico Gutteres marah besar. Sekeluar dari ruangan Polres, ia mengamuk dan merusak podium acara. Akibatnya, banyak  wartawan asing ketakutan karena dalam situasi yang tak terkendali  warga asing selalu menjadi sasaran pertama, apalagi selama jajak pendapat PBB di Timor-Timur, oleh milisi pro integrasi mereka dianggap tidak netral dan berpihak kepada kelompok kemerdekaan Timor-Timur.

Puluhan jurnalis asing pun diungsikan ke dalam kantor Polres oleh Kapolres Sianturi Simatupang, bersama Gories Mere. Saat itu memang muncul kekhawatiran massa akan ikut mengamuk. Beruntung situasi buruk itu tidak terjadi. Walaupun ada insiden kecil tersebut, secara keseluruhan acara penyerahan senjata berlangsung sukses dan Indonesia mendapatkan kembali kepercayaan dari dunia internasional, bahwa pemerintah menjalankan dengan sungguh-sungguh Resolusi 1319 Dewan Keamanan PBB, sehingga DK tidak harus mendatangkan penyelidiknya ke Atambua.

Keberhasilan ini semua tidak lepas dari kerja keras aparat keamanan di lapangan, terutama polisi dalam memberi sumbangan bagi penyelesaian persoalan. Penugasan yang tak kalah menantang bagi Alfons Loemau, adalah ketika ia ditunjuk sebagai Ketua Tim Analis Perburuan Tommy Soeharto. Tommy Suharto kabur dari eksekusi tim kejaksaan dalam dugaan kasus korupsi ruilslag tanah Bulog dan PT. Goro Batara Sakti. Eksekusi ini dilaksanakan setelah turun penolakan grasi dari Presiden KH. Abdurrahman Wahid, atas putusan 18 bulan penjara untuk Tommy Soeharto, pada 2 November 2000.

Setelah kabur,  Mabes Polri membentuk beberapa tim yang dipimpin oleh perwira-perwira senior di reserse. Salah satu tim tersebut adalah Tim yang dipimpin oleh Brigjen Pol. Gories Mere. Di Tim ini, Kombes Pol. Alfons Loemau menjadi perwira analisis dan evaluasi. Saat itu beredar informasi yang menyebutkan bahwa Pangeran Cendana ini dikawal oleh sekitar 40 pengawal bersenjata lengkap. Tim pengawal ini adalah orang-orang uang memiliki keahlian dalam penggunan senjata dan di sebut-sebut sebagai penembak jitu.

Untuk mengantisipasinya, tim pemburu selalu menggunakan rompi anti peluru dan beberapa perwira dilengkapi senapan serbu otomatis berlaras pendek scorpion. Alfons Loemau, termasuk yang selalu menenteng senapan buatan Republik Cheko ini. Informasi intelijen ini memang tidak sekedar isapan jempol belaka. Orang-orang Tommy Soeharto bahkan melakukan aksi penembakan terhadap Hakim Agung Syaiffuddin Kartasasmita, di kawasan Kemayoran. Bahkan dalam penggerebekan di Wisma Cemara, tempat peristirahatan Tommy Soeharto, polisi menemukan puluhan senjata dan amunisi.

Selain dilengkapi dengan senjata serbu, Tim Gories Mere juga mengajak ahli telematika Roy Suryo. Roy Suryo menjadi ahli yang membantu polisi melacak jaringan telepon yang di duga digunakan oleh Tommy Suharto dan orang-orang terdekatnya. Hal ini dilakukan  karena Mabes Polri belum memiliki alat sadap dan interceptor untuk mengendus keberadaan Tommy Soeharto. Hasil kerja alat yang digunakan oleh Roy Suryo sangat membantu tim buru sergap yang terus bergerak di lapangan.

Ini pula yang membuat Tim Gories Mere lebih maju dalam pengumpulan informasi dibandingkan dengan tim lain. Misalnya sinyal-sinyal Tanggo 221 --nama sandi Tommy yang dipakai polisi selama pengejaran-- berkedip-kedip di sekitar jalan Proklamasi, Menteng, Jakarta Pusat. Namun, lokasi yang masih luas menyulitkan polisi mengetahui secara akurat posisi buruannya. Belakangan diketahui di kawasan ini, Tommy Soeharto kerap bertemu dengan salah satu teman wanitanya, Lani Banjaranti.

Selain di Menteng, sinyal Tommy Soeharto  juga diketahui kerap berada di kawasan Pondok Indah Jakarta Selatan dan kawasan Bintaro, Tangerang, Jawa Barat. Selain menggunakan alat penjejak telepon, Nakat Purwanto yang memiliki keahlian dalam penggunaan psawat ringan ultra light, juga membantu membuat membuat foto udara di sekitar kawasan Cendana, Menteng, Jakarta Pusat. Suatu pagi yang cerah, Alfons Loemau dan Bakat Purwanto sudah berada di Halim Perdana Kusumah. Dari satu hanggar yang menjadi tempat parkir pesawat ringan, Alfons Loemau dan Bakat Purwanto kemudian menaiki satu pesawat ultra ringan.

Berbekal kamera, misi pembuatan foto udara pun dilakukan. Namun setelah merasakan penerbangan yang penuh resiko itu, hasilnya tidak maksimal karena kawasan Cendana banyak ditumbuhi pohon besar sehingga foto udara yang didapatkan tidak maksimal. Almarhum Brigjen Pol.  Bakat Purwanto kemudian meninggal setelah pesawat capung Cessna Federasi Aero Sport Indonesia (FASI) yang ia tumpangi mendarat darurat di jalan tol Jagorawi pada 20 Juli 2002.

Setahun setelah kabur akhirnya Tommy Soeharto berhasil di tangkap oleh Tim Pemburu dari Polda Metro Jaya. Penangkapan ini terjadi pada 29 September 2001 di sebuah rumah di Jalan Maleo II, Bintaro Sektor 9, Tangerang, Jawa Barat. (Ditulis oleh Edi Wahyono, dikutip dari buku Edy Budyarso yang berjudul "Melawan Skenario Makar : Tragedi 8 Pamen Polri Di Balik Kejatuhan Presiden Gus Dur")

0 komentar:

Posting Komentar