Senin, 30 Juli 2012

Bau Impor Dalam Regulasi Kretek

Oleh Adi Harnowo

 Komhukum (Jakarta) - Tidak habis pikir, untuk mengatur tentang kretek di Indonesia, “subtansi hukum” (regulasi/peraturan) harus diimpor dari negara asing. Jamak diketahui, dalam persiapan pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) maupun level hukum di bawahnya, baik pihak eksekutif maupun legislatif berbondong-bondong “pelesir” ke luar negeri untuk mencari bekal materi tambahan guna persiapan pembahasan sebuah RUU.

Dengan dana APBN yang bernilai miliaran rupiah para pembuat kebijakan di bidang hukum (regulator) kulakan dari negeri seberang, yang asing dan beda dengan sifat, karakter dan kultur bangsa Indonesia. Demi sebuah RUU, para legislator rela menempuh berjalanan panjang dan melelahkan demi sebuah ilustrasi bagaimana subtansi dan implementasi hukum (UU) dari bangsa lain.

Namun untuk membuat produk peraturan (regulasi) tentang kretek, ada yang berbeda. Rancangan “naskahnya” jauh-jauh hari sudah disiapkan oleh bangsa lain untuk dibahas. Argumen ilmiah pun dirancang sesuai dengan kaidah keilmuah. Tak kurang lebih dari 70.000 hasil yang memberikan penghakiman terhadap rokok (kretek). Namun tidak satu pun dari hasil riset tersebut berasal dari penelitian terhadap bahan yang berasal dari produk kretek Indonesia. Karena silau terhadap pemikiran impor, hasil riset bangsa asing pun diterapkan untuk menghakimi kretek dari Indonesia. Kretek kemudian di cap bahaya dari dalil dan argumen kesehatan.

Contoh nyata regulasi impor adalah label warning yang tersaji dalam bungkus rokok kretek adalah regulasi yang dipaksakan. Label yang berbunyi “Merokok Dapat Menyebabkan Kanker, Serangan Jantung, Impotensi Dan Gangguan Kehamilan Dan Janin”, sebetulnya merupakan produk pemikiran dan hasil riset impor yang  diterima tanpa reserve. Klaim dalam label warning dalam bungkus kretek tersebut menurut  Wanda Hamilton dalam bukunya “Nicotin War – Perang Nikotin dan Para Pedagang Obat”, berasal dari  Surgeon General (SG). SG sendiri merupakan bagian dari Departemen Kesehatan Masyarakat dan Sains Pemerintah Amerika Serikat. SG didirikan oleh Congress pada tahun 1798. 

Sekarang ini pejabatnya adalah Vice Admiral Regina M. Benjamin, M.D., M.B.A. Laporan Surgeon General tentang pengaruh rokok terhadap kesehatan pertama kali diterbitkan pada tahun 1964. Laporan ini berisi hasil penelitian kasus-kasus di A.S. tentang pengaruh rokok terhadap semua sistem organ tubuh yang diperbaharui secara berkala. Menurut Wanda Hamilton, sejak tahun 1988 Surgeon General telah disusupi oleh orang-orang dari pabrik farmasi yang membuat permen karet nikotin dan koyok nikotin, yaitu produk-produk pengganti rokok.

Pertanyaan yang perlu dikemukakan dan belum mendapatkan jawaban dari kegiatan riset sampai sekarang baik oleh regulator, akademisi dan stakeholders kretek adalah, bagaimana dengan rokok asli Indonesia (kretek) apakah juga menyebabkan stigma penyakit sebagaimana klaim dalam bungkus rokok tersebut?

Aisling Irwin dalam artikelnya berjudul Study casts doubt on heart ‘risk factors’ (International News, 25/8/1998), mengungkapkan, studi cardiologi paling besar yang pernah dilakukan telah gagal menemukan hubungan antara serangan jantung dengan faktor-faktor risiko klasik, seperti merokok dan tingkat kolesterol yang tinggi. Bahkan, Monica study, melakukan kajian di 21 negara selama 10 tahun. Para ilmuwan tidak dapat menemukan koneksi statistik antara reduksi dengan perubahan-perubahan dalam obesitas, merokok, tingkat tekanan darah, atau kolesterol.

Hasil studi ini diumumkan the European Congress of Cardiology in Vienna pada Agustus 1998. Studi yang paling lama dan paling besar di dunia itu menghimpun informasi dari 150.000 serangan jantung, terutama di Eropa Barat, dan Rusia, Islandia, Kanada, China, dan Australia. Sekalipun hasil studi Monica yang didanai WHO mengungkapkan tidak adanya hubungan antara penyakit jantung dengan faktor risiko fisik, WHO tetap saja mengatakan bahwa faktor-faktor risiko klasik (karena tembakau) merupakan kontribusi utama bagi risiko individual.

Instrumen internasional
Seperti diketahui, saat ini di tingkat internasional ada instrumen legal yang mengatur tentang distribusi rokok. Instrumen tersebut adalah The WHO Framework Convention on Tobacco Control (WHO FCTC). Indonesia dan Amerika sendiri sampai saat ini belum menandatangani FCTC tersebut. FCTC adalah sebuah perjanjian (treaty) atau instrumen internasional yang dibuat di bawah pengawasan WHO. FCTC ini dibuat dan dikembangkan dengan maksud untuk merespon epidemi penggunaan tembakau di era global.

Anehnya beberapa produk regulasi hukum tersebut selalu memberi penekanan yang lebih berat pada sektor tembakau dan industri hasil tembakau (IHT). Padahal ada stakeholder lain yaitu pemerintah sebagai regulator, masyarakat sebagai konsumen, dan kelompok kepentingan lain, baik lokal maupun asing, sebagai pressure group.  
 
Menurut Ralf Dahrendorf, negara hukum yang demokratis mensyaratkan empat perangkat kondisi sosial. Pertama, persamaan dalam setiap proses politik. Kedua, tidak ada kelompok yang memonopoli. Ketiga, berlakunya nilai-nilai yang boleh disebut sebagai kebajikan publik. Keempat, menerima perbedaan dan konflik kepentingan sebagai realitas sosial yang tidak dapat dihindarkan. Sebagai negara hukum (rechstaat), negara harus memastikan bahwa regulasi disusun berdasarkan prinsip-prinsip tersebut.

Sayangnya, produk regulasi hukum tembakau dan IHT tidak sepenuhnya dapat menggambarkan terjaminnya prinsip-prinsip tersebut. Masih ada kelompok tertentu, baik domestik maupun internasional yang mempunyai akses yang luas pada sumberdaya ekonomi dan politik yang dapat mereduksi perwujudan kedaulatan hukum (the autonomy of law) Indonesia.

Hal ini bisa dilihat dari sikap “given” pemerintah  yang teresonansi dalam draft RPP dan RUU yang mengatur tembakau dan IHT, secara konten mengandung dan memuat copy paste dari isi traktat Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Sebagaimana pendapat Sinzheimer bahwa hukum tidak bergerak dalam ruang hampa dan berhadapan dengan hal-hal yang abstrak. Melainkan, ia selalu berada dalam suatu tatanan sosial tertentu dan manusia-manusia yang hidup. Produk hukum di Indonesia seharusnya bersumber dan berdasar pada ideologi Pancasila yang disebut Sang Proklamator Soekarno sebagai “Philosofische grondslad" dan harus berdasarkan pada UUD 1945.

Secara teoritis, menurut I.S Susanto (Kriminologi, FH Universitas Diponegoro, Semarang : 1995, hal. 17), ada tiga perspektif mengenai pembentukan undang-undang untuk menjelaskan hubungan antara hukum (undang-undang) dengan masyarakat. Pertama adalah model konsensus. Model ini mendasarkan pada asumsi bahwa undang-undang merupakan pencerminan dari nilai dasar kehidupan sosial. Dengan demikian pembuatan serta penerapan undang-undang dipandang sebagai pembenaran hukum yang mencerminkan keinginan kolektif. Kedua model pluralis. Model ini menyadari adanya keanekaragaman kelompok-kelompok sosial yang mempunyai perbedaan dan persaingan atas kepentingan dan nilai-nilai. Karena adanya perbedaan-perbedaan tersebut, maka hukum perlu dibentuk.

Ketiga model konflik. menyadari kebutuhan akan adanya mekanisme penyelesaian konflik, masyarakat sepakat terhadap struktur hukum yang dapat menyelesaikan konflik tanpa membahayakan kesejahteraan masyarakat.  Model konflik menekankan pada adanya paksaan dan tekanan yang berasal dari sistem hukum. Sistem hukum tidak dipandang sebagai alat yang netral untuk menyelesaikan perselisihan, tetapi sebagai mekanisme yang diciptakan oleh kelompok politik yang paling berkuasa untuk melindungi dan mencapai kepentingan-kepentingannya sendiri.

Subtansi FCTC yang  nyata-nyata mendapatkan reaksi keras dari masyarakat dan stakeholders kretek di Indonesia, tidak bisa diadopsi  begitu saja substansinya menjadi substansi hukum di Indonesia. Ada permasalahan yang sangat kompleks yang dapat menimbulkan persoalan baru jika regulasi (UU maupun PP) dicopy dari FCTC. Sebagaimana ungkapan Seidman mengenai ‘the law of non-transferability of law’, setiap negara secara spesifik memiliki problem sendiri-sendiri sehingga apapun bentuknya apakah itu hukum asing atau instrumen internasional tidak serta merta dapat ditransfer menjadi hukum di suatu negara. 

Semestinya produk regulasi hukum semangatnya adalah mencari titik temu antar berbagai kepentingan. Produknya harus memperhatikan berbagai dimensi dan sudut pandang, baik industri, petani, tenaga kerja, serta dimensi lingkungan dan kesehatan. Produk hukum sebagai produk kebijakan publik harus meramu nilai keadilan (filosofis), kemanfaatan (sosiologis), dan bukan hanya semata menonjolkan aspek hukum (normatif) semata. (K-4/***)

*Adi Harnowo, Direktur Eksekutif Lembaga Katalog Indonesia

Sumber : KOMHUKUM.COM

0 komentar:

Posting Komentar