
Gates senang dengan 'almamater' itu, karena dirinya merasa diajari berpikir secara riset, namun Gates juga kecewa, karena Harvard tidak mengajari dirinya menjadi manusia. Ia merasa menjadi manusia justru di luar Harvard, terutama setelah berkolaborasi dengan sang istri mendirikan "Bill and Melinda Gates Foundation" untuk membantu manusia menjadi manusia!.
Pandangan Harvard terhadap mahasiswa sebagaimana dilontarkan Gates itu tidak jauh dengan pandangan pengusaha terhadap buruh, bukan seperti Gates yang memandang orang lain (karyawan, mahasiswa, buruh) sebagai aset (manusia).
Tak heran, buruh pun tak memiliki masa depan cerah, bahkan bahagia pun tidak boleh. Catatan harian seorang buruh pabrik menyebutkan "perintah" yang harus dijalani yakni harus menjadi karyawan yang (bekerja dengan) baik, menjadi karyawan yang bersyukur karena tidak menjadi pengangguran, menjadi karyawan yang tidak macam-macam, dan seterusnya.
Itu bukan hanya catatan picisan, tapi itulah kehidupan nyata dari seorang buruh. Buruh hanya diikat dengan kontrak untuk kerja keras dan perusahaan tidak akan pernah memperhitungkan prestasi atas kerja kerasnya itu, bahkan perusahaan justru punya perhitungan lain bila seorang buruh mempertanyakan masa kerja dan prestasinya, yakni PHK!.
Itu bukan hanya catatan picisan, tapi itulah kehidupan nyata dari seorang buruh. Buruh hanya diikat dengan kontrak untuk kerja keras dan perusahaan tidak akan pernah memperhitungkan prestasi atas kerja kerasnya itu, bahkan perusahaan justru punya perhitungan lain bila seorang buruh mempertanyakan masa kerja dan prestasinya, yakni PHK!.
Jadi, buruh harus menjadi anak manis di perusahaan agar tidak di-PHK dan dilarang berjuang untuk nasibnya sendiri.
Ya, bagaimana seorang buruh bisa bahagia jika hidupnya selalu dihantui ketakutan akan masa depannya?!.
Tapi, republik ini tidak jelek-jelek amat soal perlindungan buruh.
Buktinya, ada UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Putusan MK Nomor 27/PUU-XI/2011 yang intinya menolak "outsourcing" (buruh kontrak) atau buruh dalam strata terendah dengan masa depan paling terpuruk. "Pasal 66 UU 13/2003 mengatur outsourcing tidak boleh digunakan kegiatan yang berhubungan dengan proses produksi, kecuali kegiatan penunjang," ucap Sekretaris Umum Serikat Pekerja Aneka Industri (SPAI) Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Djamaluddin Malik.
UU itu menyebutkan kegiatan penunjang itu seperti usaha pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha penyedia makanan (katering), usaha tenaga pengaman (security), usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta usaha penyedia angkutan pekerja/buruh.
Pada 17 Januari 2011, MK melalui Putusan 27/PUU-IX/2011 memutuskan frasa "perjanjian kerja waktu tidak tertentu" (PKWTT) dalam Pasal 65 ayat (7) UU 13/2003 dan frasa "perjanjian kerja untuk waktu tertentu" (PKWT) dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b UU 13/2003 bertentangan dengan UUD 1945.
PKWTT dan PKWT itu bertentangan sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
"Jadi, MK memutuskan dua model skema perlindungan, yakni harus dengan PKWT dan boleh dengan PKWTT tapi dengan syarat Transfer of Undertaking Protection of Employment atau ada jaminan pengalihan kepada perusahaan pemenang tender," katanya.
Putusan MK itu disambut gembira seluruh buruh, karena buruh selama ini hanya dianggap sebagai komoditas oleh para pemilik modal dan "outsourcing" telah membuat kepastian kerja bagi buruh menjadi hilang, karena gampang dipecat, sulit berserikat, kerja paksa, upah murah (Rp. 300 ribu/bulan), tidak ada cuti, dan tidak ada jaminan sosial.
Di atas kertas Masalahnya, perlindungan buruh yang baik itu hanya ada di atas kertas dan amat sangat jelek dalam fakta di lapangan. Data Pemprov Jatim hingga April 2012 yang mencatat 1.022 perusahaan jasa penyedia pekerja (PPJP) dengan lebih dari 112.295 buruh outsourcing dan 90 persen bekerja di sektor produksi (bukan sektor penunjang).
"Itu menunjukkan fakta perlindungan yang sebaliknya, bahkan data Aliansi Buruh Menggugat (ABM) Jatim dan LBH Surabaya mencatat 91,8 persen korban dari pelanggaran THR 2011 adalah buruh outsourcing, karena itu kami menuntut penghapusan sistem outsourcing di Indonesia," tutur Djamaluddin Malik.
Untuk mensiasati perlindungan yang masih baik di atas kertas itu, pengamat perburuhan dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Dr. Hadi Subhan mengusulkan kepada Menakertrans Muhaimin Iskandar untuk merumuskan skala upah buruh. "UMK yang dirancang pemerintah sudah bagus, tapi hal itu masih tidak adil," katanya tentang evaluasi perburuhan menjelang Hari Buruh Internasional pada 1 Mei.
Sekretaris Unair itu menjelaskan UMK itu sebenarnya diberlakukan untuk buruh lajang, namun dalam praktiknya ada penyimpangan yakni untuk semua buruh dan tidak membedakan masa kerja. "Itulah yang tidak adil, karena UMK dengan nilai yang sama justru diperuntukkan buruh lajang atau buruh berkeluarga, buruh dengan masa kerja 1-2 tahun atau buruh dengan masa kerja 5-10 tahun," jelasnya.
Oleh karena itu, kata pengamat perburuhan dari Fakultas Hukum (FH) Unair itu, pemerintah seharusnya membuat UMK dengan disertai skala upah, sehingga UMK tidak diterapkan secara sama dan akhirnya menjadi tidak adil.
Bahkan, skala upah juga memiliki standar yang jelas antara buruh yang produktif dan tidak produktif, sehingga skala upah butuh itu juga bermanfaat untuk perusahaan dengan adanya peningkatan produktivitas. "Skala upah itu bisa diatur lewat Permenakertrans. Bisa juga meniru pola PNS yakni bila beristri diberi tunjangan 10 persen dari UMK dan bila punya anak juga ada persentasenya, tapi saya kira terserah," imbuhnya.
Menurut dia, catatan perburuhan yang juga penting adalah pengawas ketenagakerjaan yang jumlahnya masih kurang dan fungsinya juga kurang dioptimalkan. "Karena itu, Menakertrans hendaknya mengoptimalkan pengawas ketenagakerjaan, baik jumlah maupun fungsinya, agar buruh tidak menempuh jalur aksi jalanan atau mogok kerja, meski hal itu tidak dilarang UU," terangnya.
Ia menilai pengawas ketenagakerjaan selama ini belum mampu menjadi mediasi dalam perkara pembayaran di bawah UMK, outsourcing, dan tindakan perusahaan yang cenderung merugikan buruh. "Mereka (pengawas, red) bisa berfungsi sebagai PPNS (penyidik PNS) yang memberikan sanksi secara langsung bila menemukan pelanggaran, baik nota perigatan maupun pencabutan izin usaha," ujarnya.
Jadi, pemerintah harus merumuskan regulasi yang rinci dan tidak bisa disiasati dan juga mengoptimalkan pengawas ketenagakerjaan, kemudian pengusaha harus berpikir seperti Bill Gates yakni buruh sebagai aset, sehingga iklim usaha menjadi kondusif dan menguntungkan semuanya. (K-4/Edy M Ya'kub)
Ya, bagaimana seorang buruh bisa bahagia jika hidupnya selalu dihantui ketakutan akan masa depannya?!.
Tapi, republik ini tidak jelek-jelek amat soal perlindungan buruh.
Buktinya, ada UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Putusan MK Nomor 27/PUU-XI/2011 yang intinya menolak "outsourcing" (buruh kontrak) atau buruh dalam strata terendah dengan masa depan paling terpuruk. "Pasal 66 UU 13/2003 mengatur outsourcing tidak boleh digunakan kegiatan yang berhubungan dengan proses produksi, kecuali kegiatan penunjang," ucap Sekretaris Umum Serikat Pekerja Aneka Industri (SPAI) Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Djamaluddin Malik.
UU itu menyebutkan kegiatan penunjang itu seperti usaha pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha penyedia makanan (katering), usaha tenaga pengaman (security), usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta usaha penyedia angkutan pekerja/buruh.
Pada 17 Januari 2011, MK melalui Putusan 27/PUU-IX/2011 memutuskan frasa "perjanjian kerja waktu tidak tertentu" (PKWTT) dalam Pasal 65 ayat (7) UU 13/2003 dan frasa "perjanjian kerja untuk waktu tertentu" (PKWT) dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b UU 13/2003 bertentangan dengan UUD 1945.
PKWTT dan PKWT itu bertentangan sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
"Jadi, MK memutuskan dua model skema perlindungan, yakni harus dengan PKWT dan boleh dengan PKWTT tapi dengan syarat Transfer of Undertaking Protection of Employment atau ada jaminan pengalihan kepada perusahaan pemenang tender," katanya.
Putusan MK itu disambut gembira seluruh buruh, karena buruh selama ini hanya dianggap sebagai komoditas oleh para pemilik modal dan "outsourcing" telah membuat kepastian kerja bagi buruh menjadi hilang, karena gampang dipecat, sulit berserikat, kerja paksa, upah murah (Rp. 300 ribu/bulan), tidak ada cuti, dan tidak ada jaminan sosial.
Di atas kertas Masalahnya, perlindungan buruh yang baik itu hanya ada di atas kertas dan amat sangat jelek dalam fakta di lapangan. Data Pemprov Jatim hingga April 2012 yang mencatat 1.022 perusahaan jasa penyedia pekerja (PPJP) dengan lebih dari 112.295 buruh outsourcing dan 90 persen bekerja di sektor produksi (bukan sektor penunjang).
"Itu menunjukkan fakta perlindungan yang sebaliknya, bahkan data Aliansi Buruh Menggugat (ABM) Jatim dan LBH Surabaya mencatat 91,8 persen korban dari pelanggaran THR 2011 adalah buruh outsourcing, karena itu kami menuntut penghapusan sistem outsourcing di Indonesia," tutur Djamaluddin Malik.
Untuk mensiasati perlindungan yang masih baik di atas kertas itu, pengamat perburuhan dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Dr. Hadi Subhan mengusulkan kepada Menakertrans Muhaimin Iskandar untuk merumuskan skala upah buruh. "UMK yang dirancang pemerintah sudah bagus, tapi hal itu masih tidak adil," katanya tentang evaluasi perburuhan menjelang Hari Buruh Internasional pada 1 Mei.
Sekretaris Unair itu menjelaskan UMK itu sebenarnya diberlakukan untuk buruh lajang, namun dalam praktiknya ada penyimpangan yakni untuk semua buruh dan tidak membedakan masa kerja. "Itulah yang tidak adil, karena UMK dengan nilai yang sama justru diperuntukkan buruh lajang atau buruh berkeluarga, buruh dengan masa kerja 1-2 tahun atau buruh dengan masa kerja 5-10 tahun," jelasnya.
Oleh karena itu, kata pengamat perburuhan dari Fakultas Hukum (FH) Unair itu, pemerintah seharusnya membuat UMK dengan disertai skala upah, sehingga UMK tidak diterapkan secara sama dan akhirnya menjadi tidak adil.
Bahkan, skala upah juga memiliki standar yang jelas antara buruh yang produktif dan tidak produktif, sehingga skala upah butuh itu juga bermanfaat untuk perusahaan dengan adanya peningkatan produktivitas. "Skala upah itu bisa diatur lewat Permenakertrans. Bisa juga meniru pola PNS yakni bila beristri diberi tunjangan 10 persen dari UMK dan bila punya anak juga ada persentasenya, tapi saya kira terserah," imbuhnya.
Menurut dia, catatan perburuhan yang juga penting adalah pengawas ketenagakerjaan yang jumlahnya masih kurang dan fungsinya juga kurang dioptimalkan. "Karena itu, Menakertrans hendaknya mengoptimalkan pengawas ketenagakerjaan, baik jumlah maupun fungsinya, agar buruh tidak menempuh jalur aksi jalanan atau mogok kerja, meski hal itu tidak dilarang UU," terangnya.
Ia menilai pengawas ketenagakerjaan selama ini belum mampu menjadi mediasi dalam perkara pembayaran di bawah UMK, outsourcing, dan tindakan perusahaan yang cenderung merugikan buruh. "Mereka (pengawas, red) bisa berfungsi sebagai PPNS (penyidik PNS) yang memberikan sanksi secara langsung bila menemukan pelanggaran, baik nota perigatan maupun pencabutan izin usaha," ujarnya.
Jadi, pemerintah harus merumuskan regulasi yang rinci dan tidak bisa disiasati dan juga mengoptimalkan pengawas ketenagakerjaan, kemudian pengusaha harus berpikir seperti Bill Gates yakni buruh sebagai aset, sehingga iklim usaha menjadi kondusif dan menguntungkan semuanya. (K-4/Edy M Ya'kub)
0 komentar:
Posting Komentar