Selasa, 31 Juli 2012

Mampukah KPK Membuka "Kotak Pandora" di Lembaga Polri

Komhukum (Jakarta) - Sejak kemarin sore hingga hari ini penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan penggeledahan di Gedung Korlantas Polri di Jl MT Haryono, Jakarta Timur.

Penggeledahan terkait dengan penyidikan dugaan korupsi pengadaan simulator alat mengemudi kendaraan roda empat dan roda dua di lembaga itu. Namun apakah langkah ini merupakan  kemajuan dalam membongkar berbagai kasus korupsi yang sempat digembar-gemborkan  di lembaga "seragam coklat" tersebut.

Langkah berani yang diambil oleh KPK ini mendapat apresiasi dari banyak pihak namun juga menimbulkan tanda tanya akan langkah penanganan selanjutnya.

Menurut, Pengamat dan praktisi hukum, Alfons Loemau, M.Si, M.Bus, langkah penggeledahan yang dilakukan oleh KPK hari ini patut diapresiasi. Tetapi harus dipahami bahwa penggeledahan itu bukan hanya merujuk pada dua hal yang telah teridentifikasi adanya penyalagunaan wewenang.

"Selama ini ada begitu banyak kasus yang melanda lembaga ini mulai dari kasus rekening gendut, berbagai peralatan canggih  hingga pengadaan alat-alat komunikasi/ALKOM JARKOM. Jadi persoalannya bukan hanya pada  kasus dugaan suap korupsi proyek Simulator alat uji test mengemudi  melainkan juga merujuk banyak persoalan korupsi terdahulu yang telah melanda lembaga polri.  Pertanyaan sanggupkah KPK membuka "kotak Pandora" mendung gelap terkait kasus ini," tandasnya kepada Komhukum.com terkait penggeledahan di kantor Korlantas, Selasa, (31/07).

Dosen Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) ini juga mempertanyakan tentang  proses pengadaan alat simulator yang kini disinyalir adanya dugaan mark up dan rekayasa penentuan bahkan menyeret seorang Irjen Pol dan rekanan B.S sebagai   tersangka.

"Apakah pengadaan alat simulator ini sudah merupakan hasil kajian  yang komprehensif  dari lembaga penelitian dan pengembangan Polri dan juga telah melalui proses beauty contest proper dan prosedural sehingga pengadaannya tidak hanya  sekedar bermanfaat bagi masyarakat, Polri  dalam melaksanakan tugasnya dan memberi efektivitas yang nyata bagi bonum commune (kebaikan bersama) terutama rakyat banyak namun juga patut didalami dari segi efektivitas penggunaan anggaran . Jangan-jangan simulator ini hasil tawaran dari para sponsor yang datang ke polri," tanya Alfons.

Alfons kembali menegaskan agar KPK juga harus bisa menjelaskan secara hukum dengan penetapan Irjen Pol DS sebagai tersangka. "Pasalnya penetapan seorang tersangka harus melalui penyelidikan  setelah mempunyai bukti perumusan yang cukup setidaknya lebih dari satu alat bukti. Dan tiap bukti harus memiliki keterikatan satu sama lain agar tidak  bias dalam membuat kesimpulan yang menyatakan para pihak baik sebagai saksi atau sebagai pelaku/ tersangka," tegasnya.

Penjelasan kasus tersangka ini harus dikedepankan karena proses pengadaan alat simulator itu melewati tahap yang panjang dalam memverifikasi berbagai dokumen terkait.

"Pengadaan alat simulator mulai dari pengajuan rencana kebutuhan, perencanaan penggunaan, penganggaran hingga pemenangan tender melewati berbagai tahap yang melibatkan  banyak pihak. Tetapi apakah KPK mampu membongkar kotak pandora Ketidakadilan sehingga semuanya terungkap. Ataukah KPK hanya mampu menatap kotak pandora hingga yang tersisa hanya harapan dan pada akhirnya semua hilang dan tak terungkap kayak kisah mitologi Yunani kuno," jelas Alfons menilik pada kisah Zeus  memberikan Pandora pada Epimetheus.

Sedangkan IPW menilai Penggeledahan KPK terhadap Korlantas Mabes Polri sebagai sebuah fenomena baru. "Tidak biasanya KPK seberani itu, sejak berdirinya KPK 10 tahun lalu, baru kali ini KPK berani menyentuh Polri," terang Ketua Presidium Indoneia police Watch (IPW), Neta S Pane melalui pesan SMS kepada Komhukum.com, di Jakarta, Selasa (31/07).

Selama ini lanjut Neta, KPK selalu ewuh pakewuh kalau berhadapan dengan institusi Polri. Hal itu dikarenakan 110 penyidik KPK adalah para perwira Polri. Dengan adanya gebrakan baru ini pihaknya berharap KPK konsisten. "Kita tidak ingin KPK justru diperalat oleh "perang bintang" dan persaingan tidak sehat yang terjadi di Polri menjelang pergantian Kapolri," kata Neta.

Neta mengatakan, belakangan ini beredar kabar akan adanya pergantian Kapolri, dan munculnya persaingan tidak sehat di antara Pati Polri. "Jika terjadi korupsi KPK harus mengusut tuntas kasusnya, sehingga tidak ada kesan KPK hanya diperalat untuk menjatuhkan citra perwira tinggi tertentu dalam persaingan calon kapolri pasca Jenderal Timur Pradopo," tandas Neta. (K-5/KOMHUKUM.COM)

0 komentar:

Posting Komentar