Selasa, 29 Mei 2012

Gerakan Mahasiswa = Gerakan Hati Nurani Bangsa (6)

GERAKAN MAHASISWA, TAHUN 1966. “Ada semacam kendala di kalangan petinggi-petinggi ABRI pada waktu itu untuk tidak menjatuhkan korban di antara para mahasiswa dan prajurit dengan bercermin pada bagaimana tindakan yang dilakukan terhadap pasukan pengamanan Soekarno (Resimen Tjakrabirawa) yang dianggap bertanggung jawab terhadap terbunuhnya demonstran mahasiswa Arif Rahman Hakim di depan Istana Merdeka di samping juga ada kekuatiran bahwa putera-puteri mereka sendiri mungkin juga berada di tengah-tengah para mahasiswa yang sedang menyalurkan aspirasi hati nurani rakyat”. (Repro PACE/MI)

Perjuangan mahasiswa 1970-1974 itu memang menjadi ternoda oleh kecerobohan yang dilakukan para mahasiswa intra kampus di Jakarta yang terlalu banyak melibatkan tokoh-tokoh avonturir gerakan mahasiswa ekstra kampus.

Di samping kurangnya sensitivitas terhadap kemungkinan begitu teganya suatu pemerintahan kekuasaan yang didukung secara populis dan demokratis serta selalu menyatakan diri memiliki partnership dengan mahasiswa, memperlakukan anak bangsanya sendiri sebagai musuh yang harus ditumpas habis seperti mereka menumpas PKI dan Soekarno sebagai lawan politiknya.

Dengan didudukinya kampus Universitas Indonesia oleh pasukan pendudukan militer, dimulailah suatu masa penindasan baru terhadap rakyat dan bangsa Indonesia yang bahkan tidak pernah dilakukan oleh pemerintah jajahan Belanda serta fasisme Jepang.

Dan, bagaikan drakula yang sekali mengisap darah kemudian semakin menikmati sedapnya darah, demikianlah kemudian terjadi penindasan demi penindasan terhadap rakyat Indonesia yang semakin lama menjadi semakin enteng dan berdarah-darah dilakukan tanpa sedikit pun rasa bersalah dan penyesalan, dilakukan oleh petinggi-petinggi ABRI.

Pendudukan kampus berulang kembali di Bandung tahun 1978. Perlakuan-perlakuan berdarah dan anti kemanusiaan dalam operasi-operasi militer Timor Timur, Peristiwa Tanjung Priok, Aceh, Irian, Maluku, Ternate sampai dengan penculikan dan pembunuhan yang dilakukan dengan ‘enak’nya menggunakan istilah ‘demi negara’, bahkan dijadikan sebagai ‘media’ unjuk jasa yang pantas mendapatkan penghargaan, jabatan-jabatan tinggi sampai tertinggi di dalam negara Republik Indonesia tercinta ini.

Mereka seolah-olah bisa berbuat apa saja dalam menindas bangsa dan negara Indonesia ini. Tanpa rasa salah dan sesal. Tidak ada satupun petinggi itu yang diseret ke mahkamah pengadilan negara seperti mereka me-Mahmilub-kan (Mahkamah Militer Luar Biasa) tokoh-tokoh G30S/PKI yang mereka anggap sebagai pendosa bangsa dan negara Indonesia.
 
Sementara dosa-dosa yang telah mereka perbuat terhadap bangsa dan negara Indonesia mereka coba tutupi dan tidak pernah di-mahkamah-kan sedikitpun. Memang harus menjadi pertanyaan besar dalam sejarah indonesia merdeka, mengapa ABRI sepanjang hidup dalam Indonesia merdeka hampir selalu menempatkan diri sebagai musuh dari rakyat. 

Mungkin perlu suatu kajian psikologi yang sangat mendalam untuk memahami mengapa ABRI (TNI dan Polri) selalu dalam melakukan tugasnya senang sekali membuat jatuhnya korban berdarah di kalangan rakyat.

Dan selalu menganalogikan posisinya sebagai pembela siapa pun pihak yang berkuasa yang bahkan sulit bisa diterima andaikata perbuatan serupa itu dilakukan aparat kekuasaan penjajah di Indonesia. 

Bila kita cermati, sangat sedikit catatan sejarah dari tindakan tentara kolonial Belanda maupun polisi penjajahan Belanda yang menghadapi rakyat Indonesia dengan cara-cara kekerasan yang brutal dan berdarah-darah, padahal jelas visi dan misi mereka adalah untuk memusuhi dan menindas rakyat di negara jajahannya.

Tidak pernah kita temukan cara polisi penjajah Belanda mengawal acara pertandingan sepakbola atau pertunjukan musik dengan menggebuki serta berwajah kejam beringas berusaha melukai penonton sampai berdarah-darah. Sementara hampir di setiap kesempatan berhadapan dengan massa rakyat di negara Indonesia merdeka, perlakuan TNI dan Polri (ABRI) dengan jelas sekali di televisi menampilkan wajah garang, sombong, angkuh, ringan tangan, berusaha mencari kesempatan untuk melukai.

Sebaliknya menghadapi massa dalam jumlah besar yang sulit untuk mereka atasi, mereka cenderung bersembunyi mengawasi dari kejauhan bahkan sedapat mungkin menghilang dari hadapan publik, sehingga hampir selalu kegiatan-kegiatan publik yang berbau massal akan dengan mudah berubah menjadi aksi anarki yang memakan darah dan harta benda rakyat tidak bersalah dan menjadi sasaran korban. 

Tampaknya banyak hal yang harus dibenahi dalam doktrin, visi, misi dan perilaku ABRI (TNI dan Polri) untuk bisa menjadi pilar yang mengayomi tumbuhnya rasa aman, tertib dan damai di hari rakyat, bangsa dan negara Indonesia.

Mahasiswa dan Kekerasan
DISADARI atau tidak sepanjang pengalaman mahasiswa di dalam menjalankan fungsinya sebagai penyalur hati nurani rakyat, semakin tumbuh perasaan tidak suka pada perilaku TNI dan Polri dalam menjalankan tugasnya yang tidak menimbulkan rasa aman, tenteram dan damai. Di dalam setiap kesempatan menghadapi gerakan mahasiswa, TNI dan Polri tampaknya menampilkan perilaku serupa sebagaimana yang mereka tampilkan dalam menghadapi rakyat.

TNI dan Polri selalu memprovokasi aksi-aksi demonstrasi mahasiswa yang sebenarnya mengusung gagasan-gagasan kritik konstruktif secara konseptual dan cendekia untuk digeser untuk menjadi aksi-aksi benturan fisik sehingga memungkinkan TNI dan Polri melakukan tindakan kekerasan, penyiksaan fisik bahkan sampai dengan pembunuhan langsung maupun tidak langsung.

Dalam pengalaman aksi-aksi mahasiswa tahun 1970-1974 pada umumnya sangat kecil kemungkinan benturan fisik itu oleh karena ada kecenderungan para mahasiswa untuk menahan prestise dan harga dirinya untuk tidak berbenturan fisik dengan prajurit-prajurit rendahan dari kalangan TNI dan Polri.

Bila diantisipasi akan terjadinya pengerahan prajurit dalam jumlah besar di lapangan sehingga memungkinkan terjadinya tindakan kekerasan makan dengan segera para tokoh pimpinan mahasiswa itu akan dengan segala cara meng-call atasan-atasan dari prajurit-prajurit itu secara hirarkis untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu agar supaya tidak jatuh korban dari kedua belah pihak secara tidak bertanggung jawab.

Ada semacam kendala di kalangan petinggi-petinggi ABRI pada waktu itu untuk tidak menjatuhkan korban di antara para mahasiswa dan prajurit dengan bercermin pada bagaimana tindakan yang dilakukan terhadap pasukan pengamanan Soekarno (Resimen Tjakrabirawa) yang dianggap bertanggung jawab terhadap terbunuhnya demonstran mahasiswa Arif Rahman Hakim di depan Istana Merdeka di samping juga ada kekuatiran bahwa putera-puteri mereka sendiri mungkin juga berada di tengah-tengah para mahasiswa yang sedang menyalurkan aspirasi hati nurani rakyat.

Banyak sekali cerita bagaimana pemimpin-pemimpin ABRI pada waktu itu yang bersilang pendapat dengan putera-puterinya di rumah yang lebih berpihak pada kesamaan gagasan dengan rekan-rekan mahasiswa di kampus, sehingga rela berhadap-hadapan di lapangan dengan pasukan-pasukan yang dipimpin orangtuanya. Harus diakui bahwa pada waktu itu di kalangan petinggi-petinggi TNI dan Polri pun masih terlihat adanya toleransi terhadap pandangan politik, pandangan sosial, cita-cita dan harapan yang tidak diikat oleh disiplin mati, loyal, membebek pada otoritas atasan.

Tampaknya hal itu berkaitan juga dengan sikap perilaku tentara dan polisi yang hampir selalu menghadapi atasannya dengan sikap sempurna dan harus mengatakan “Mohon izin” bila akan melakukan sesuatu tanpa perintah atasan. Sikap khas tentara dan polisi Indonesia ini lebih menunjukkan penanaman sikap feodal daripada disiplin.

Melalui cara-cara “komunikasi” seperti itu hampir selalu bisa dihindari terjadinya bentrokan-bentrokan fisik dalam aksi-aksi demonstrasi mahasiswa untuk menyalurkan aspirasi masyarakat. Aspirasi-aspirasi melalui demonstrasi itu lebih sering dilakukan di dalam forum-forum diskusi dengan mendatangi  pejabat-pejabat pemerintah yang berkepentingan atau melalui diskusi-diskusi yang dilakukan di dalam kampus dan dihadiri oleh pejabat-pejabat tersebut.

Balai Pertemuan Ilmiah (BPI) ITB di perempatan jalan Surapati dan Dipati Ukur serta aula Universitas Padjadjaran di jalan Dipati Ukur sering menjadi ajang dari kegiatan-kegiatan semacam itu. Dewan-dewan perwakilan rakyat pusat maupun daerah bahkan seringkali merasa perlu diberikan suntikan keberanian oleh aktivitas mahasiswa semacam itu sebagai bahan berargumentasi dalam tugas pengawasannya terhadap jalannya roda pemerintahan.

Jaket mahasiswa dengan dasi yang dikenakan di dalamnya memang lebih menampikan ciri intelektualitas di dalam penampilan maupun tutur kata perilakunya sehingga menimbulkan respek dari kalangan pemerintahan dan kredibilitas dari kalangan rakyat dan masyarakat luas. Kalimat-kalimat tajam dalam susunan bahasa yang jernih, spontan, tidak banyak basa-basi tetapi menimbulkan rasa rikuh bagi yang terkena dan simpati dari yang seaspirasi, betul-betul dijaga untuk tidak merendahkan nilai dari gagasan maupun pandangan yang disampaikan.

Tampaknya aksi-aksi mahasiswa intra kampus ini selalu berhasil memelihara harkat dan martabat serta kualitas perguruan tinggi yang mereka wakili. Aksi-aksi tidak senonoh dan sekedar mencari sorotan publik semata, vulgar dan tidak ‘berpendidikan’ lebih banyak dilakukan bukan dari kalangan ini, tetapi pemerintah selalu mengcounter aksi-aksi mahasiswa intra semacam ini dengan memojokkan mereka dalam persepsi yang memprovokasi masyarakat untuk menempatkannya dalam posisi yang sama.

Dalam kenyataannya aksi kritis mahasiswa intra kampus Bandung pada umumnya hampir selalu berhasil menjaga jarak dengan aksi-aksi mahasiswa ekstra kampus di Bandung maupun di Jakarta yang dipersepsikannya sebagai aksi-aksi demonstrasi dengan motivasi pribadi.

*Drs Hatta Albanik MPsi,  pengajar pada  Fakultas  Psikologi  Universitas  Padjadjaran. Mendalami psikologi forensik dan masalah perilaku menyimpang dalam kehidupan politik. Aktivis gerakan kritis mahasiswa intra di Bandung 1970-1974. Menjabat sebagai Ketua Umum Dewan Mahasiswa Universitas Padjadjaran 1972-1974. (Sociopolitica's)

0 komentar:

Posting Komentar