Senin, 30 Juli 2012

Mempercepat Industrialisasi dengan Implementasi MP

Komhukum (Jakarta) - Pemerintah menjadikan pertumbuhan sektor industri sebagai mesin utama pertumbuhan ekonomi dan berupaya mengimplementasikan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) untuk mempercepat industrialisasi.

"Dengan industrialisasi, keunggulan komparatif ditransformasi menjadi keunggulan kompetitif," kata Wakil Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN), Lukita Dinarsyah Tuwo di Jakarta, baru-baru ini.

Lukita menyebutkan, bagi negara berkembang seperti Indonesia, tidak bisa lagi mengandalkan keunggulan komparatif yang hanya mengandalkan sumber daya alam. "Keunggulan komparatif seperti tenaga kerja yang banyak dan murah serta sumber daya alam apalagi yang tidak terbarui, tidak bisa diandalkan lagi," ujar Lukita.

Kunci untuk mengalihkan keunggulan komparatif menjadi keunggulan kompetitif adalah adanya inovasi dan peningkatan kapasitas produksi. Selama kurun waktu 10 tahun terakhir, kontribusi sektor industri terhadap produk domestik bruto mengalami penurunan namun itu bukan indikasi adanya deindustrialisasi.

"Memang kontribusi sektor industri kepada PDB turun dari 27 persen ke 24 persen, namun kontribusi tenaga kerja sektor industri meningkat, demikian juga dengan nilai ekspor sektor industri," kata Lukita.

Pada tahun 2009 nilai ekspor produk industri mencapai 73 miliar dolar AS, tahun 2010 sebesar 98 miliar dolar AS dan tahun 2011 sebesar 122 miliar dolar AS, sementara periode Januari-Maret 2012 mencapai 29 miliar dolar AS.

Komoditas ekspor utama produk industri periode Januari-Maret 2012 meliputi mesin dan peralatan listrik, mesin/pesawat mekanik, pakaian jadi bukan rajutan, dan alas kaki. "Sementara komposisi tenaga kerja sektor industri pada 2006 mencapai 12,5 persen, tahun 2010 sebesar 13 persen, dan 2011 sebesar 13,5 persen," jelas Lukita.

Namun menurut Lukita, perkembangan sektor industri di Indonesia hingga saat ini masih menghadapi berbagai kendala baik yang sifatnya eksternal maupun internal sektor industri. Masalah eksternal meliputi ketersediaan (kualitas dan kuantitas) infrastruktur yang belum memadai dan ketersediaan energi khususnya listrik yang juga belum memadai.

Terkait infrastruktur transportasi, dalam indeks daya saing global, komponen infrastruktur Indonesia menempati peringkat ke-82. Pada indeks kinerja logistik, Indonesia berada di peringkat ke-75 terendah di ASEAN. Sementara biaya logistik di Indonesia sekitar 14 persen dari biaya produksi (tertinggi di ASEAN), padahal mestinya kurang dari 10 persen.

Sementara menyangkut masalah energi khususnya listrik, tingkat elektrifikasi nasional baru mencapai 72,95 persen dengan rasio jumlah desa berlistrik baru mencapai 92,58 persen. Dalam peringkat kemudahan berusaha untuk komponen memperoleh listrik, Indonesia menempati peringkat ke-161 di dunia. Industri padat energi memiliki kehandalan listrik mendekati 100 persen di mana mereka memiliki pembangkit listrik sendiri, namun berakibat pada adanya tambahan biaya dan daya saing menurun.

Sedangkan masalah internal sektor industri antara lain industri yang melakukan inovasi masih sangat terbatas, industri dengan nilai tambah tinggi juga sangat terbatas, populasi industri masih kecil, struktur hulu-hilir masih lemah, dan rantai pemasok domestik belum terbangun. "Industri swasta yang tercatat melakukan inovasi masih terbatas misalnya PT. Hartono Istana Teknologi (produsen Polytron) dan PT. Maspion. Sementara BUMN industri strategis masih dalam tahap konsolidasi bisnis," kata Lukita.

Bila diukur besarnya nilai tambah per tenaga kerja, maka hanya 137 (0,6 persen) di atas Rp. 1 miliar, 4,0 persen berkisar antara Rp. 500 juta hingga Rp. 1 miliar, dan 95 persen di bawah Rp. 500 juta. Terkait dengan populasi industri, jumlah industri berskala besar dan sedang hanya sekitar 23 ribu unit di mana dari jumlah itu hanya enam ribuan yang berskala besar. Industri besar dan sedang juga masih terkonsentrasi di Jawa yang mencapai sekitar 19.500 industri, sementara di Sumatera mencapai 2.327 unit, Sulawesi 541 unit, Bali dan Nusa Tenggara 516 unit, Kalimantan 356 unit, dan Papua 76 unit.

"Struktur hulu-hilir juga masih lemah misalnya CPO diekspor sementara bahan baku industri sabun dan lainnya masih diimpor, demikian juga dengan bauksit yang diekspor sementara aluminium diimpor," tandas Lukita.

Rantai pemasok domestik juga belum terbangun. Misalnya untuk industri kendaraan bermotor baru terbangun pemasok level kedua sementara di negara maju hingga ke tingkat sembilan. Industri kecil menendah hingga saat ini juga belum menjadi basis pemasok bagi industri hilir. Sementara itu Menteri PPN/Kepala Bappenas, Armida S Alisjahbana mengatakan Indonesia harus proaktif menjaga momentum pertumbuhan ekonomi yang berkualitas.

Realisasi pertumbuhan ekonomi selama kuartal I 2012 mencapai 6,3 persen sementara target pertumbuhan ekonomi selama 2012 sebesar 6,5 persen. Menurut Armida, ada dua hal yang terkait dengan upaya menjaga momentum pertumbuhan ekonomi yaitu potensi konsumsi masyarakat dan produktivitas pendukung pertumbuhan ekonomi.

Armida menyebutkan sebagai negara yang sudah masuk berpendapatan menengah, setiap tahun terdapat enam hingga tujuh juta penduduk yang bergerak masuk ke kelompok menengah. "Kalau pendapatan naik maka juga ada perubahan perilaku dalam konsumsi sehingga ini menjadi peluang dan potensi baru di market," kata Armida.

Armida mencontohkan angka penjualan mobil yang meningkat hingga mencapai 900 ribu selama setahun, demikian juga dengan pembelian sepeda motor. Armida juga mengatakan produktivitas berperan penting dalam pertumbuhan ekonomi. "Produktivitas tenaga kerja Indonesia 20 tahun lalu tentu beda dengan saat ini karena tingkat pendidikan yang meningkat," ujarnya.

Menurut dia, ilmu pengetahuan dan teknologi juga berperan penting dalam peningkatan produktivitas sehingga perlu terus dikembangkan teknologi baru. Peran MP3EI Menurut Wamen PPN Lukita D Tuwo, industrialisasi harus dipercepat jika Indonesia ingin menjadi negara maju dan sejahtera. Dalam konteks tersebut, skema MP3EI berperan untuk mengakselerasi industrialisasi sehingga pembangunan di Indonesia dapat berlangsung lebih cepat.

Tantangan eksternal industrialisasi yang paling utama yang dihadapi Indonesia yang merupakan negara kepulauan yang luas adalah persoalan konektivitas nasional. Karena itu selain mengembangkan potensi ekonomi melalui koridor ekonomi dan memperkuat sumber daya manusia dan ilmu pengetahuan dan teknologi, skema MP3Ei juga menekankan pada upaya memperkuat konektivitas nasional.

Perkuatan konektivitas ini bertujuan untuk mengurangi biaya transaksi, mewujudkan sinergi antarpusat pertumbuhan dan mewujudkan akses pelayanan yang merata. Konektivitas meliputi konektivitas intra dan inter pusat pertumbuhan, konektivitas antarkoridor ekonomi (pulau), dan konektivitas internasional sebagai gerbang perdagangan dan pariwisata.

Dasar Utama MP3EI adalah pengembangan potensi ekonomi melalui koridor ekonomi yaitu membangun pusat-pusat pertumbuhan di setiap koridor ekonomi (pulau) dengan pengembangan klaster industri berbasis sumber daya unggulan (komoditas dan sektor). MP3EI memberikan tema baru bagi pembangunan wilayah di mana skema tersebut tidak diarahkan pada kegiatan eksploitasi dan ekspor sumber daya alam, namun lebih pada penciptaan nilai tambah.

Skema itu tidak diarahkan untuk menciptakan konsentrasi ekonomi pada daerah tertentu namun lebih pada pembangunan ekonomi yang beragam dan inklusif sehingga semua wilayah di Indonesia dapat berkembang sesuai dengan potensi masing-masing. MP3EI tidak menekankan pada pembangunan ekonomi yang dikendalikan oleh pusat, namun pada sinergi pembangunan sektoral dan daerah untuk menjaga keunggulan kompetitif nasional.

Skema tersebut juga tidak menekankan pembangunan transportasi darat saja, namun pada pembangunan seimbang antara darat, laut dan udara. Selain itu MP3EI tidak menekankan pada pembangunan infrastruktur yang mengandalkan anggaran pemerintah semata, namun juga pembangunan infrastruktur yang menekankan pada kerja sama pemerintah dengan swasta (KPS).

Pemerintah menetapkan enam koridor ekonomi berdasarkan keunggulan dan potensi masing-masing wilayah. Keenam koridor tersebut adalah Koridor Sumatera yang akan menjadi sentra produksi dan pengolahan hasil bumi dan lumbung energi nasional, Koridor Jawa sebagai pendorong industri dan jasa nasional, Koridor Kalimantan sebagai pusat produksi dan pengolahanhasil tambang dan lumbung energi nasional.

Selain itu, Koridor Sulawesi sebagai pusat produksi dan pengolahan hasil pertanian, perkebunan, perikanan, minyak dan gas, dan pertambangan nasional. Koridor Bali-Nusa Tenggara sebagai pintu gerbang pariwisata dan pendukung pangan nasional. Koridor Papua-Kepulauan Maluku sebagai pusat pengembangan pangan, perikanan, energi dan pertambangan nasional.

Di setiap kooridor ekonomi terdapat Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) atau kawasan strategis nasional (KSN). Di Koridor Sumatera terdapat Kawasan Sei Mangke, Kawasan Dumai, Kawasan Tanjung Api-api, Kawasan Muaraenim, KSN Selat Sunda (Jembatan Selat SUnda), Kawasan Cilegon, dan Kawasan Banten. Di Koridor Jawa terdapat Kawasan Jabodetabek, Bogor, Bekasi dan sekitarnya, Bandung dan sekitarnya, Selatan Jawa Tengah, Surakarta dan sekitarnya, Pasuruan-Malang, pengembangan tol Trans Jawa, pengembangan kereta cepat Jawa, dan pengembangan trasnportasi Jabodetabek.

Kawasan ekonomi di Koridor Kalimantan meliputi Kutai Timur-Maloy, Balikpapan dan sekitarnya, kawasan Rapak dan Ganal Kaltim, Kotabaru dan sekitarnya, Barito dan sekitarnya, Pontianak-Mempawah dan sekitarnya, dan kawasan pengembangan kereta api batu bara. Sedangkan di Sulawesi meliputi kawasan Mandiodo-Konawe-Kolaka, Makassar dan sekitarnya, Luwu, Mamuju, Morowali, Luwuk dan Banggai, Manado dan sekitarnya. Koridor Bali-Nusa Tenggara meliputi Kawasan Denpasar, Lombok, Nagakeo, Flores Timur, dan Kupang.

Sementara Koridor Papua-Kepulauan Maluku meliputi Kawasan Morotai, Halmahera, Ambon, Sorong dan Teluk Bintuni, Timika, dan Merauke. Mengenai proyek-proyek yang ada dalam MP3EI, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Hatta Rajasa mengatakan proyek-proyek tersebut hingga saat ini berjalan sesuai dengan rencana pemerintah. "Secara umum saya sampaikan sejumlah besar proyek yang rencanakan berjalan," kata Hatta.

Pemerintah membentuk kelompok kerja antara lain kelompok kerja konektivitas, regulasi, ESDM, Iptek dan kelompok kerja koridor. Hatta menjelaskan, selama tahun 2012, untuk infrastruktur ada 39 proyek dengan nilai investasi Rp. 195,9 trilliun, sektor riil ada 50 proyek dengan nilai investasi Rp. 294,8 triliun. Sehingga total sekitar Rp. 490,7 triliun, angka ini adalah angka yang sudah divalidasi dari sekitar Rp. 600 triliun per Maret 2012.

Menurut dia, dari kelompok kerja regulasi, sudah ada 30 regulasi yang telah diperbaiki. Kemudian, ada juga regulasi yang sedang diperbaiki serta ada beberapa aturan yang diidentifikasi untuk diperbaiki. Dari 30 regulasi yang diperbaiki, ada satu Undang-undang, beberapa Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Menteri.

Meski demikian, lanjut Hatta, dirinya juga menerima laporan yang menunjukkan adanya kendala terkait dengan lahan. Salah satu kendala yang terbesar adalah lahan dan penggunaan lahan kehutanan. Untuk itu, pemerintah akan mengadakan pertemuan khusus mengundang dunia usaha, gubernur agar fokus dalam mengidentifikasi seluruh proyek-proyek yang terkendala dengan lahan akan segera dicari solusinya secepat mungkin. (K-4/Oleh: Agus Salim)

0 komentar:

Posting Komentar