Kamis, 07 Juni 2012

Mengurai Kerumitan Masalah Papua Merdeka

''Orang Papua hanya butuh tiga hal. Keamanan, kesehatan, dan ekonomi baik. Kitong (kami) dikasih tiga itu, kitong diam!'' Ucapan itu dilontarkan Kayo Hubi, 46 tahun, dalam pertemuan tertutup di sebuah hotel di Jakarta, akhir Mei 2012 lalu. Nada suaranya lantang sekaligus agak bergetar. Matanya hampir berkaca-kaca.


Dari beberapa pejabat pemerintah dan tokoh adat Papua yang berkumpul siang itu dan ikut mendengarkan, tidak ada satu pun yang berani berkomentar. Suasana jadi agak senyap begitu Kayo bicara. Mereka tahu, walau cuma tamatan SD, Kayo adalah Kepala Suku Dani di Lembah Baliem, Wamena, yang memiliki sampai 10.000 pengikut. Dia juga Koordinator Lembaga Masyarakat Adat (LMA) di delapan kabupaten di Papua. Pengaruhnya di massa akar rumput cukup besar.

Ini bukan pertama kalinya Kayo menuntut tiga hal itu. Beberapa tahun sebelumnya, ia juga menuntut hal yang sama saat bertatap muka dengan Menteri Kesehatan, Siti Fadilah Supari. Ketika itu, Kayo mengeluh tentang kondisi warga sukunya yang banyak meninggal akibat wabah malaria. Di kalangan suku Dani, malaria adalah pembunuh nomor satu. "Kalau lagi musim sakit, bisa 40-60 orang kena. Banyak yang meninggal," katanya kepada Gatra.

Forum yang menghadirkan para tokoh adat Papua dan beberapa pejabat pemerintah itu juga membahas banyak isu, antara lain keamanan, kemiskinan, otonomi khusus (otsus), gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM), hingga rasisme. Soal rasisme ini, walau jarang terjadi, misalnya disampaikan George Awi, 51 tahun, Ketua LMA Port Numbay yang juga penasihat klub sepak bola Persipura Jayapura. Dalam pertandingan di luar Papua, katanya, tim Persipura kadang mendapat ejekan rasis dari suporter tim lawan. "Mereka teriak, 'Kera! Kera! Kera!'. Bagaimana kami tidak marah?'' kata George.

Forum yang berlangsung dua hari itu memang menyingkap banyak masalah di Tanah Papua. Seorang mantan pejabat tinggi Kementerian Dalam Negeri yang bicara mengenai otsus, misalnya, terlihat berusaha hati-hati ketika menyinggung topik yang terbilang sensitif: korupsi dana otsus.

Walau tidak menyalahkan para tokoh adat Papua itu, kekesalannya soal trilyunan rupiah dana pajak yang disalurkan ke Papua itu dikorup terlihat jelas. ''Sejak 2001 sampai sekarang, sudah Rp 37 trilyun dana otsus yang disalurkan ke Papua. Hasilnya mana? Pembangunan infrastruktur juga belum kelihatan. Padahal, penduduk Papua tidak sebanyak Jakarta,'' katanya.

Si pejabat yang juga terlibat dalam perumusan Undang-Undang Otsus itu menjelaskan bahwa isu korupsi adalah salah satu keprihatinan dunia internasional. Dia lalu memperlihatkan dokumen berjudul "Indonesia Comission: Peace and Progress in Papua, yang merupakan laporan komisi independen mengenai Papua dari Council on Foreign Relations, lembaga think-tank asal Amerika Serikat. ''Mereka intens mengikut perkembangan di Papua, dan laporan mereka harus kita akui cukup objektif,'' ujarnya.

Dalam dokumen tadi, soal korupsi menjadi salah satu poin rekomendasi komisi itu. Laporan setebal 131 halaman yang dibuat komisi pimpinan Dennis C. Blair itu (mantan Panglima Armada Pasifik Amerika Serikat), selain menyerukan upaya rekonsiliasi di antara berbagai pihak yang pernah bertikai di Papua, juga mendesak pemerintah untuk mendirikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan membangun industri perbankan di Papua.

Secara spesifik, Indonesia Commission itu bahkan merekomendasikan dibentuknya bank khusus regional Papua, dengan misi penyediaan kredit terjangkau bagi rakyat Papua. Pembangunan bank regional ini, menurut komisi itu, akan sangat berperan dalam perekonomian jangka panjang Papua.

Bila para tokoh adat Papua yang relatif tua itu tampak hati-hati ketika bicara soal korupsi dana otsus, tidak demikian dengan generasi mudanya. Habelino Sawaki, 29 tahun, misalnya, peserta termuda dalam pertemuan tersebut, justru bicara blak-blakan. ''Sering ketika korupsi mau diusut, terus dilawan dengan demo merdeka,'' katanya. Ini juga bukan pertama kalinya Habelino bicara terbuka soal korupsi.

Pada Agustus 2011, mantan Ketua Senat Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih itu bahkan pernah menjadi headline di koran lokal karena sengaja menggalang demonstrasi tandingan yang menolak aksi Komite Nasional Papua Barat (KNPB) yang mendukung forum International Lawyer for West Papua (ILWP). Dengan menggunakan atribut Presidium Pemuda Peduli Rakyat (Pepera), Habelino dan kawan-kawannya sengaja mengusung spanduk provokatif bertulisan ''Referendum dan Papua Merdeka adalah Kedok Para Koruptor'', ''Jangan Tutupi Kasus Korupsi dengan Isu Referendum'', dan sejenisnya.

Kepada Gatra, Habelino mengatakan, sudah jadi rahasia umum bahwa isu referendum sering dijadikan alat politik untuk menawar upaya penanggulangan korupsi. Ia juga menilai, KPK takut masuk Papua karena isu merdeka ini. ''Kenapa ketika ada elite Papua yang melakukan korupsi, KPK berani menangkapnya setelah dia di Bandara Soekarno-Hatta?'' katanya, mengacu pada penangkapan Bupati Boeven Digul, Yusak Yaluwo, di bandara pada 2010.
Papua merdeka memang isu yang rumit. Bahkan Kayo Hubi yang memiliki massa di level akar rumput juga hati-hati ketika ditanya soal itu. Dia terlihat lebih menaruh perhatian pada aspek perbaikan ekonomi.

Menurut Habelino, kerumitan ini terjadi karena banyak sekali kelompok di Papua. ''Ada 250 suku di Papua dan bahasanya pun berbeda. Bukan sekadar perbedaan dialek seperti bahasa Jawa Timur dan Jawa Tengah, tapi benar-benar beda, seperti bahasa Jawa dengan Sunda,'' katanya. Seorang peserta forum lain membandingkan kondisi Papua dengan Aceh. ''Di Aceh, ada Hasan Tiro yang dipatuhi GAM. Waktu Indonesia bikin perjanjian damai dengan Hasan Tiro di Swedia, GAM yang di hutan pun patuh. Di Papua belum ada tokoh yang seperti itu,'' ungkapnya.

Isu Papua merdeka memang salah satu topik panas dalam diskusi dua hari itu. Habelino, yang merupakan satu-satunya peserta dari kalangan mahasiswa, beberapa kali terlihat punya pandangan berbeda dari para tokoh adat yang lebih tua. Misalnya peraturan mengenai siapa yang boleh menjadi Gubernur Papua. Dalam Undang-Undang Otsus disebutkan bahwa yang bisa menjadi Gubernur Papua adalah orang asli Papua (OAP). Namun, siapa yang disebut OAP ini?

Dalam pernyataan di koran lokal Papua, Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP), Timotius Murib, menyatakan bahwa yang disebut OAP adalah orang Papua dari ras Melanesia, baik dari garis keturunan ayah maupun ibu. MRP, yang memang diberi kewenangan ikut menyeleksi bakal calon Gubernur Papua, bahkan ikut mendatangi daerah asal calon untuk memastikan kesukuan yang bersangkutan.

Habelino termasuk yang tidak sreg dengan definisi OAP itu. Sebab definisi itu menegasikan terjadinya kawin campur orang Papua dengan warga suku daerah lain yang sudah lama tinggal di Papua. Selain itu, privilese ras Melanesia di Papua biasanya juga akan berarti kalau di tingkat nasional, keindonesiaan warga Papua masih diragukan. ''Apakah orang Papua berarti tidak bisa jadi Presiden RI?'' ia balik bertanya.

Namun memang begitulah rumusan Undang-Undang Otsus. Walau bertujuan menghormati hak-hak masyarakat adat, ada risiko terjebak dalam kesukuan sempit. Yang jelas, bila menggunakan definisi itu, bahkan keturunan Kayo Hubi yang seorang Kepala Suku Dani pun berpeluang kecil menjadi pemimpin daerah. Sebab, kepada Gatra, Kayo bercerita bahwa istrinya adalah boru Simbolon yang besar di Papua.

Profesor Salim Said, yang pernah datang dan berbincang dengan para tokoh adat Papua itu, memberi catatan tersendiri mengenai perspektif nasionalisme ras Melanesia ini. Salim Said mengilustrasikan bahwa proses nasionalisme Indonesia, juga Papua, bisa menempuh dua jalur: jalur Uni Soviet dan jalur Amerika.

Jalur Uni Soviet adalah jalur yang terus mengedepankan ras mayoritas sebagai basis nasionalisme. Risikonya, ketika komunisme runtuh, nasionalisme pun berantakan. Orang Uzbekistan atau Tajikistan yang tidak pernah merasa satu bagian dengan orang Rusia akhirnya berpisah dan mendirikan negara sendiri.

Jalur Amerika, menurut Said, lebih ideal. Sebab nasionalisme tidak berbasis pada ras mayoritas, tapi kewarganegaraan. Karena itu, orang kulit hitam pun bisa jadi presiden. Salim yang pernah menjadi Duta Besar RI untuk Republik Ceko lalu menceritakan kisah pada 2009, ketika Pemerintah Amerika Serikat mengirim kapal perang USS Lassen ke Vietnam untuk misi persahabatan.

Di Vietnam, kedatangan kapal perang USS Lassen itu jadi berita besar. Bukan karena soal kapalnya, melainkan karena komandan kapal perang itu, Commander H.B. Lee, adalah orang keturunan Vietnam. Lee lahir di Vietnam. Tapi, pada 1975, ketika usianya baru lima tahun, ayahnya membawa dia lari ke Amerika menjelang jatuhnya kota Saigon ke tangan tentara komunis Vietnam Utara.

Meski anak imigran, setelah beralih jadi warga negara Amerika, Lee lalu mendaftar ke Akademi Angkatan Laut Annapolis, terus menapak karier hingga mencapai jabatan sekarang, dan baru mampir ke tanah kelahirannya 34 tahun kemudian. "Ketika ditanya, dia pun tetap bilang, 'I'm an American'," kata Salim.

Salim berharap, nasionalisme Indonesia bisa mencapai level secanggih itu. Terkait isu gerakan Papua merdeka, bila dipicu oleh ketidakpuasan ekonomi dan politik, maka masih bisa diselesaikan lewat cara dialog. Tapi Salim menyayangkan kalau isu Papua merdeka kemudian dibingkai dengan nasionalisme ras Melanesia.

Namun sepertinya justru hal itulah yang sedang diupayakan para aktivis Papua merdeka. Sumber Gatra yang pernah bertugas di Kementerian Luar Negeri membisikkan bahwa saat ini mulai ada upaya dari negara-negara ras Melanesia, seperti Papua Nugini, Vanuatu, Kepulauan Fiji, untuk membentuk asosiasi negara-negara Asia Pasifik tersendiri mengikuti model ASEAN, dan sepertinya para aktivis Papua merdeka berusaha agar kemerdekaan Papua bisa "dititipkan" menjadi salah satu agenda resmi calon asosiasi negara-negara ras Melanesia itu. (lestari.info)

0 komentar:

Posting Komentar