Kamis, 20 September 2012

Kemenangan Jokowi-Ahok Kekalahan Koalisi Partai


Komhukum (Jakarta) - Hasil survei quick count sejumlah lembaga menunjukan bahwa pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok) telah mengungguli pasangan nomor satu Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli (Foke-Nara) walaupun penentuan secara resmi masih menanti pengumuman dari KPU DKI Jakarta yang seyogyanya akan berlangsung pada tanggal 1 Oktober 2012 nanti.

Namun walaupun demikian, kebenaran dari hasil survei ini mendekati kebenaran mutlak karena sejarah mengumumkan hampir pasti prediksi dari lembaga-lembaga survei mendekati hasil yang diumumkan.

Hal ini tentu tidak mengesampingkan kelemahan yang pernah terjadi pada putaran pilkada DKI Jakarta putaran pertama di mana hasil prediksi lembaga survei yang mengusung tokoh petahana harus tersingkir dengan kemenangan dari tokoh yang mengatasnamakan koalisi rakyat. Menarik dari proses perebutan kursi di DKI satu untuk periode 2012-2017 ini meninggalkan berbagai fenomena baru dalam warna demokrasi rakyat DKI Jakarta yang sangat kompleks ini.

Pertama, kemenangan Jokowi yang oleh Lembaga survei Indonesia menyatakan unggul  memperoleh suara 53,68%  atas pasangan Foke-Nara yang hanya memperoleh suara 46,32% diawali dengan peristiwa luar biasa pada pemilihan putaran pertama yang berlangsung pada tanggal 16 Juni lalu di mana pasangan ini secara mengejutkan menyingkirkan pasangan Petahana.

Kemenangan ini menjadi kontroversi di mana karena kemenangan ini membenam semua prediksi lembaga-lembaga survei yang saat itu memprediksikan kemenangan pada pihak "number one" atas nama Foke-Nara. 
 
Kedua, kehadiran Jokowi-Ahok juga menjadi warna baru bahwa pemilihan orang nomor satu di DKI Jakarta tidak berasal dari putra daerah. Jokowi yang menghabiskan sebagian hidup dan karier di kota Solo secara mengejutkan mencalonkan diri di DKI.

Begitu pun dengan Ahok yang dipuja oleh rakyat Belitung secara berani mencalonkan diri dengan asumsi dasar perubahan yang dibuat di daerah akan tercapai jika tata pemerintahan di pusat dimanajerial secara baik. Puncak dari dari kehadiran dua calon ini adalah melakukan gebrakan sekaligus terobosan untuk menjadikan Jakarta sebagai etalase bagi pemerintahan yang lain. Tokoh utusan daerah ini berhasil mengeliminasi dua putra daerah.

Ketiga, kemenangan Jokowi-Ahok membuktikan bahwa koalisi partai bukanlah satu-satunya jaminan kemenangan. Jokowi-Ahok yang dari awal begitu kuat melakukan insersi dalam kehidupan masyarakat akhirnya membuktikan bahwa koalisi partai bisa dipatahkan koalisi rakyat. Kemenangan ini seakan-akan menguatkan adagium kuno yang melihat suara rakyat sebagai suara Tuhan. Vox populi, Vox Dei, Suara rakyat Suara Tuhan sekaligus membuktikan bahwa rakyat Jakarta telah cerdas dalam memilih.

Kebenaran ini diamini oleh Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan masyarakat Jakarta sudah bisa dibilang cukup cerdas dalam menentukan pilihan. Setidaknya, hal itu tercermin dari hasil putaran pertama yang berbeda jauh dengan prediksi lembaga survei. Pada putaran kedua ini, perubahan sudah dilakukan dua kandidat.

Warga Ibu Kota pun bisa memberikan penilaian secara objektif dan independen. “Dengan banyaknya perubahan dari kedua kandidat, para pemilih harus tetap bisa kritis dan menggunakan hak pilihnya secara rasional agar proses demokrasi berjalan optimal,” ucapnya kepada Komhukum.com di Jakarta, Kamis (20/09).

Keempat, Rekam Jejak adalah modal utama dalam meraih kepercayaan rakyat. Kemenangan Jokowi membuktikan bahwa koalisi partai-partai besar bukanlah jaminan kemenangan. Jokowi- Ahok yang terjun dalam pilkada DKI Jakarta yang mengandalkan oleh partai mengusungnya dan harus berjuang dengan tokoh incumbent yang diusung oleh koalisi partai besar ternyata mampu menjadi "Sang Jawara". Latar belakang kepemimpinan dan track record kepemimpinan menjadi jaminan keduanya.

Keempat hal ini memberi potret demokrasi baru di tanah Jakarta ini. kini tanggung jawab warga Jakarta terletak pada "Pemimpin" baru yang akan ditetapkan oleh KPU DKI nanti. Kesuksesan dari proses pilkada bukan terletak pada strategi merebut suara warga DKI Jakarta tetapi bagaimana merealisasikan janji-janji yang telah dilontarkan agar menciptakan Jakarta Baru dengan Perubahan.

Menurut Pengamat politik Universitas Nasional (Unas) Alfan Alfian mengatakan Jakarta memiliki banyak hal yang harus dibenahi dan tidak sekedar diucapkan dalam retorika sempalan. Dia berpendapat, siapa pun yang terpilih nanti akan dihadapkan pada posisi sulit. Beragam pekerjaan berat harus dituntaskan, sementara gubernur hanya memiliki waktu lima tahun.

Menurut Alfan, jumlah pendatang yang terus bertambah membuat kesulitan tersendiri bagi pemangku kepentingan. “Jadi tidak serta-merta menyalahkan gubernurnya karena memang persoalan Jakarta sangat kompleks,” tutur Alfan.

kini Jokowi-Ahok telah berhasil menjalani semua proses untuk mewujudkan aspirasi warga Jakarta di antara kehadiran diri keduanya yang berasal dari daerah yang berbeda-beda yakni Solo dan Belitung. Akankan sosok dari daerah berbeda dan diusung oleh koalisi rakyat ini mampu menciptakan "Jakarta Baru"?. (K-4/el)

0 komentar:

Posting Komentar