Kamis, 12 April 2012

Polisi Gagalkan Pembajakan Pesawat Pertama Di Indonesia

Drama pembajakan pesawat pertama di Indonesia berhasil digagalkan oleh aksi diskresi seorang polisi.  Berikut ceritanya.

Diskresi adalah kewenangan yang melekat dari seseorang petugas polisi. Dengan diskresi polisi dibenarkan bertindak atas dasar situasi dan kondisi lapangan demi kepentingan publik yang lebih besar.

Misalnya patroli Sabhara bisa menggagalkan perampokan tanpa harus menunggu bantuan Satuan Reserse.  Polisi lalu lintas bisa memberi izin pengguna jalan memutar haluan melawan arah jika ada huru-hara di depan jalan.

Namun belakangan ini, walaupun polisi memiliki kewenangan diskresi, dalam beberapa kejadian yang melibatkan massa terlihat polisi seperti tidak berdaya. Mengapa para polisi di lapangan seperti ragu dalam bertindak?

Berikut cerita bersambung tentang sebuah tindakan diskresi yang diambil seorang perwira pertama polisi sampai bisa menggagalkan upaya pembajakan pesawat pertama di Indonesia. Ini terjadi jauh sebelum ada Detasemen Khusus Penanggulangn Teror Den 81/Gultor Kopassus, atau Detasemen Khusus Anti Teror Polri/Densus 88.

Berikut kisahnya yang disadur dari bab “Sang Perwira” dari buku “Melawan Skenario Makar, Tragedi Delapan Perwira Menengah Polri Di Balik kejatuhan Presiden Gus Dur”  karya penulis Edy Budiyarso wartawan yang banyak menulis kisah-kisah polisi.    

Perjalanan hidup Kombes Pol. Dr. Bambang Widodo, naik turun layaknya roller coaster. “Awal mula jadi polisi dielu-elukan. Begitu mau pensiun malah masuk bui,” kata Bambang. Bambang Widodo lulus AKABRI Kepolisian tahun Desember 1971, ia seangkatan dengan mantan Kapolri Jendera Pol. Chaeruddin Ismail. Baru lima bulan pertama bertugas sebagai polisi, sebuah peristiwa yang menggemparkan dunia penerbangan nasional melambungkan namanya.

Ceritanya berawal dari penugasan pertamanya korps reserse dan intjelen (Resintel) Komando Antar Resort (Komresko) 961 Kota Yogyakarta.  Suatu siang pada tanggal 5 April 1972, Bambang yang saat itu menjabat sebagai Kepala Subseksi Reskrim 961, diajak atasannya Letkol Suyono, perwira intelijen Komresko Yogyakarta.  Saat itu, Suyono mengabarkan ada keributan di Bandara Adi Sujtipto.  Keributan itu terjadi, setelah sebuah pesawat Merpati Nusantara Airlines, jenis Vickers Viscount MZ-171 dibajak oleh sekelompok pembajak.

“Saat itu, sebetulnya ada tiga orang yang diajak, Letda Pol Slamet Haryono dan Letda Pol Iwa Yawis Nasution, namun karena tidak bergairah akhirnya tidak jadi ikut,” ujar Bambang mengenang. Mengendarai jeep tua, dua perwira polisi itu pun melaju cepat ke Bandara. Saat itu, suasana di bandara sudah ramai, Pasukan Gerak Cepat (PGT) TNI Angkatan Udara, dan Brigade Mobil (Brimob) sudah mengepung kawasan bandara.

Drama pembajakan sendiri, seperti ditulis oleh majalah Tempo 15 April 1972, berawal ketika pesawat Merpati dengan jurusan Menado-Makassar-Surabaya- hendak menuju Jakarta, setelah lepas landas dari bandara Juanda Surabaya. Di Surabaya, sebenarnya pesawat kedatangan penumpang aneh, bercelana Saddle King tanpa tiket, namun bisa masuk ke pesawat karena diantar sedan mewah sampai ke samping pesawat yang sedang parkir.

Penumpang yang pemuda perlente ini, begitu tenang dan tidak mencurigakan. Hanya sekali ia ke toilet untuk kemudian langsung kembali ke kokpit---ruang kemudi di mana Pilot Hindarto dan Co-Pilot Soleh mengendalikan pesawatnya. Di pintu yang menghubungkan kabin dengan kokpit, pemuda ini bertemu dengan seorang awak pesawat yang mencoba melarangnya ketika ia permisi menuju ruang pilot itu.

Larangan itu kontan dicabut, ketika Hermawan memperlihatkan dua buah granat RRT yang tergenggam di tangannya. Awak pesawat tadi menyingkir dan seraya mengancam akan membunuh, ia mengikat tangan-tangan pilot dan co pilot dengan rantai anjing.
“Putar haluan!!!”  hardik si pembajak.

Pesawat yang sudah berada di atas Tegal setelah beberapa menit melewati Semarang pun terasa miring berputar haluan. Kebetulan salah satu penumpang Merpati tersebut adalah Pilot, Suharto, Ia Captain Pesawat Maskapai Buroq Airlines. Ia curiga karena pesawat terasa berputar haluan kembali ke arah timur. 

Kecurigaan ternyata benar bahwa pesawat berubah arah ke Lanud Adisutjipto, Yogyakarta. Padahal saat itu pesawat sedang terbang di ketinggian 14.000 kaki. Ada sekali Hermawan mencoba nekad membuka pintu pesawat pada ketinggian tersebut, tetapi sang pilot berteriak mengingatkan.

“Jika Bapak membuka pintu pesawat pada ketinggian ini maka anak telinga saya akan pecah, demikian pula telinga Bapak”.

Si Pembajak yang bernama Hermawan desertir Marinir pun lantas mengurungkan niatnya. Jadilah kemudian pesawat tersebut mendarat di Adisutjipto, bandara yang sebenarnya bukan tujuannya.

Inilah kisah seorang polisi yang mampu menggagalkan aksi pembajakan pesawat terbang pertama di Indonesia.  Kombes Pol (Purn). Dr Bambang Widodo Umar, setelah pensiun dari dinas kepolisian, aktif sebagai pengamat kepolisian.

Gelar tertinggi di bidang akademik, ia raih sebagai Guru Besar bidang Sosiologi Hukum Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK). Berikut nukilan kisah yang diambil dari Bab Sang Perwira buku karya Edy Budiyarso.  

Adisutjipto, 5 April 1972 baru pertama kali menghadapi situasi darurat akibat aksi pembajakan. Siang itu pun gempar. Aparat pun segera mengepung seluruh kawasan bandara. Kepungan ketat aparat membuat Bambang pun tidak bisa masuk ke dalam area bandara. Dari rel kereta api di dekat kawasan bandara, Bambang memang melihat sebuah pesawat baling-baling, parkir dengan mesin masih menyala persis di apron bandara.

Sebagai perwira intel, saat itu Bambang tidak berseragam polisi. Bambang yang masih sangat muda, dan tubuhnya yang tidak terlalu besar masih seperti anak SMA. Bedanya ia menyelipkan sebuah revolver Colt Special besar di pinggangnya. Setelah melambung melewati berbagai jalan tikus, Bambang pun akhirnya bisa masuk ke ruang tunggu penumpang.

Di ruang tunggu tersebut sudah ramai oleh pejabat dan petinggi aparat keamanan. Ada Pangkowilhan II, Danrem, Dantares, dan Danres Yogjakarta, semuanya sedang berkoordinasi. Dalam suasana tersebut, percakapan detil antara pembajak hanya berlangsung dengan petugas menara Air Traffic Control (ATC) yang selanjutnya diteruskan ke para pejabat di ruang tunggu.

Namun, dari pembicaraan para jenderal dan petinggi keamanan yang terdengar oleh Bambang, sempat menyebut-nyebut pembajak minta uang tebusan sebesar Rp 20 juta. Namun, uang sebanyak itu disebut-sebut tidak bisa didapatkan, karena uang yang dikumpulkan dari bank-bank di Yogyakarta pun tidak mencapai jumlah sebanyak itu.

Saat itu juga ada rencana menembak pembajak dengan peluru bius, karena pembajak disebut-sebut akan meledakkan pesawat. Sambil mendengarkan percakapan para petinggi aparat keamanan itu membuat berbagai rencana untuk melumpuhkan para pembajak, mata Bambang terus mengawasi pesawat. Kebetulan, dari tempat ia berdiri bisa dengan leluasa menghadap kearah pesawat.

Setelah memperhatikan dengan seksama, Bambang pun melihat sesuatu yang aneh pada pesawat yang dibajak. Dari jendela kocpit ada tangan melambai-lambai. Bambang tidak mengerti apakah itu tangan pilot atau tangan co-pilot. Waktu itu hari sudah hampir magrib. Saat tangan melambai-lambai di jendela kocpit, di kabin penumpang tampak ada bayangan orang berjalan mondar-madir. Jika jendela kocpit tertutup, bayangan orang mondar-mandir itu hilang.

Keadaan itu berlangsung berkali-kali. Bambang menyimpulkan, bayangan orang yang berjalan mondar-madir itu bisa jadi si pembajak. Rupanya perkiraannya benar, dari informasi yang disampikan oleh pilot ke petugas di air traffic control dan diteruskan ke para pejabat di ruang tunggu bahwa, pembajak mulai panik karena tuntutannya tidak dipenuhi dia mengacak-acak barang milik penumpang.

Situasi ini benar-benar Bambang manfaatkan. Spontan saja berbekal pengamatannya, Bambang memberanikan diri berjalan dan berlari-lari kecil mendekati pesawat. Saat itu, tanpa ada rasa takut sedikit pun Bambang dengan berjingkat-jingkat mendekati pesawat. Arah yang dituju adalah moncong pesawat, jendela tempat di mana pilot atau co-pilot melambai-lambaikan tangannya.

Namun, body pesawat itu terlalu tinggi buat Bambang, dengan setengah berteriak ia meminta bantuan seorang petugas apron untuk menarik tangga di dekat pesawat.  Dengan suara mesin dan baling-baling yang terus berputar, pembajak pun tak melihat aksi nekat Bambang. Akhirnya ia berhasil menggeret sebuah tangga. Walaupun sudah naik tangga, ia tetap tak bisa leluasa menembak pembajaknya. Jendela cokpit hanya sampai di muka Bambang.

Baru saja ia menyodorkan kepalanya, sang pilot yang berbaju putih setengah berteriak,

“Mana duitnya!”

Belum juga menjawab pertanyaan yang mengejutkan itu, jendela ditutup kembali, Bambang pun langsung melorotkan tubuhnya menghindari penglihatan pembajak yang memasuki cokpit. Bersembunyi di leher pesawat, Bambang sempat melihat ke sekeliling dan melihat aparat yang mengepung di kanan kiri pesawat, tetap bersiaga pada posisinya masing-masing, tanpa ada upaya apa pun.

Aksi diskresi yang  dia ambil cukup sukses walau bisa membayakan dirinya. Berikut nukilan kisah yang diambil dari Bab Sang Perwira buku karya Edy Budiyarso. 

Setelah jendela cokpit kembali terbuka, sebagai tanda pembajak berada di belakang, kembali Bambang menaiki tangga. 
Kali ini ia menjulurkan tangannya dengan mengangkat pistol tujuannya menunggu pembajak masuk ke kocpit dan ia akan menembak. Namun posisi untuk menembak itu buat Bambang cukup sulit karena tinggi dirinya tidak sampai menjangkau jendela secara penuh.

Melihat kondisi tersebut sang pilot setengah berteriak, “Saya AURI, saya AURI, saya bisa menembak.” Mendengar teriakan lirih pilot yang meminta pistol, Bambang pun secara reflek memberikan pistolnya kepada sang pilot.

Cerita ini, seperti ditulis harian Umum Kompas terbitan 8 April 1971 yang mengisahkannya sebagai berikut:
…Mengenai kisah pistol yang akhirnya menamatkan riwayat Hermawan, pembantu Kompas di Yogyakarta memperoleh keterangan langsung dari Inspektur Polisi TK II Bambang Widodo sebagai berikut:

Dua kali saya naik tangga bagian depan pesawat  MNA ‘Merauke’ ketika saat-saat tegang pembajakan Rabu 5 April.  Sedang di tempat jauh dari pesawat, saya melihat beberapa anggota Kopasgat mengadakan pengepungan. Saya berada di bawah mulut pesawat. Tiba-tiba melihat co pilot Saleh melambai-lambaikan tangan yang belum saya ketahui maksudnya.  Tapi melihat jendela bisa dibuka, pastilah bagian depan pesawat keadaannya agak aman.  Lalu saya naik.

Co-pilot Saleh ternyata dengan berulang-ulang minta supaya uang tebusan Rp 5 juta segera diserahkan kepadanya.  Ia akan memberikan kepada si pembajak. Bambang Widodo pun turun kembali dan menyaksikan beberapa penumpang turun berlompatan lewat pintu belakang. Dari jendela ia bisa menyaksikan si pembajak sedang di belakang, sementara mesin baling-baling pesawat keras sekali. 

“Tanpa menunggu perintah, siapa pun saya naik tangga pesawat lagi,” kata Bambang. “Mana uangnya, lekas…!! tanya co-pilot.” Inspektur polisi lulusan AKBARI 1971 lalu menyerahkan pistol Colt Special yang seterusnya diserahkan kepada Pilot Hindiarto.

Suasana tegang itu berlangsung lima menit lamanya. Mendadak co-pilot dan pilot turun dari pesawat tergesa-gesa.  Ternyata tembakan telah dilepaskan dan pembajak Hermawan telah mati.

Menurut Bambang, setelah ia memberikan pistolnya, ia pun kembali turun melorotkan tubuhnya dan bersembunyi di bawah pesawat. Setelah menunggu sekitar lima menit, tidak ada reaksi apa pun. Bambang pun sempat menyesali pilihannya memberikan pistol kepada pilot.

“Bagaimana nanti kalau terjadi apa-apa dengan senjata itu?  Bagaimana jika pistol itu sampai jatuh ke tangan pembajak?”  Sambil menunggu kejadian yang akan terjadi, terbersit dalam benak Bambang menyesali langkahnya yang tanpa berpikir panjang.

Hari menjelang magrib, namun bandara belum terlalu gelap, awan tembaga menghiasi langit di sebelah barat Yogyakarta.  Belum juga selesai melamun, Bambang sudah dikagetkan oleh suara pistol meletus dari dalam kabin pesawat. Tar-tar, tar setelah letusan itu, Bambang melihat pilot dan Co-Pilot turun dari pintu pesawat. 

Sedangkan cerita lengkap drama di dalam kokpit seperti ditulis Kompas sebagai berikut:

Seorang pembantu Kompas lainnya di Yogyakarta, yang sempat menemui Captain Pilot Hiniarto Sugondo, mendapat keterangan bahwa tembakan pertama yang dilepaskan, tepat mengenai leher si pembajak. “Saya yakin satu tembakan itu sudah mematikannya,” kata Hindiarto. Tapi karena Co-pilot Soleh berteriak, “Tembak lagi Cap,”  maka dua peluru menyusul menembus tubuh si pembajak, yang terguling menutup api yang sudah menyala, sehingga api padam (api ini sulutkan Hermawan pada serbuk TNT yang ditaburkan di lantai pesawat). “Sungguh miracle (mukjisat), saya masih hidup,” kata penerbang Merpati asal Solo ini.

Sedangkan majalah Angkasa No 7 April 1991 menceritakan detik-detik penembakan si pembajak dengan lebih gamblang lagi:

Setelah roda PK-MVM berhenti di Apron dengan mesin tetap hidup, si pembajak bertopeng Hermawan Hardjanto, mengajukan tuntutannya.  Melalui Captain Hindiarto, si pembajak perintahkan agar segera disediakan uang Rp 20 juta dan sebuah parasut.  Bila tuntutannya tersebut sudah diterima pembajak, pesawat akan terbang lagi.

Tanpa sepengetahuan pembajak, petugas keamanan berhasil menyusup ke bawah pesawat dan mengempeskan ban-ban Vickers Viscount. Jadi praktis pesawat bermesin empat itu tidak bisa terbang. “Yang sulit pada waktu itu adalah komunikasi sangat sukar. Kami tidak memiliki Company Channel. Jadi hubungan hanya dengan tower, lalu tower ke stasiun, mempergunakan telepon ontelan. Dapat dibayangkan sukarnya menyampaikan pesan, kemudian menunggu jawabannya. Sukarnya komunikasi kelihatannya membikin gusar si pembajak ---ia mulai mondar-mandir dari depan ke belakang kabin pesawat,” kenang Soleh lagi.

Sekitar pukul 15.30 pembajak diberitahu bahwa di Yogyakarta sulit sekali untuk mengumpulkan uang sejumlah yang dimintanya dan diminta agar ia bersabar menunggu.  Hermawan mendengarkan pesan ini dan segera minta disampaikan pesannya bahwa jumlah tuntutannya itu diturunkan menjadi Rp 5 juta supaya cepat terkumpul dan segera dibawa ke pesawat.

“Saya ini banyak teman, jadi nanti rencananya kalau sudah ada uang dan parasut pesawat akan terbang lagi ke suatu tempat (dia menunjuk peta di sekitar Tegal).  Saya akan terjun di situ di mana teman-teman sudah siap menunggu.  Tapi kalau rencana ini gagal, Kapten.  Kamu akan dicari teman-teman saya dan akan dibunuh!”  Soleh mengutip si pembajak.

Selagi asyik bercerita  itu, tiba-tiba dia melihat ada beberapa penumpang, yang rupanya telah keluar pesawat, mereka lari kea rah depan.  “Lah itukan penumpang kita!” sambil lari kea rah kabin yang ternyata penumpang telah kosong.  Pembajak pun marah dan mengancam pilot.

Setelah memberi pesan tersebut, ia lalu ke kabin lagi dan mengobrak-abrik barang-barang penumpang yang ada.  Dia nampak mencari barang-barang berharga dari para penumpang.  Menurut Co-Pilot Soleh Sukarnapradaja, cukup lama Hermawan membuka koper penumpang dan mengambil barang berharga.

Pada saat itulah muncul Bambang Widodo, perwira remaja kepolisian lulusan AKABRI membawa parasut dan memberi isyarat uang sedang dalam perjalanan.  “Apakah Anda perlu pistol?” tanyanya.  “Terpakai atau tidak, perlu atau tidak, berikan pistol itu.” Jawab Captain Hindiarto Sugondo.   Begitu asyiknya pembajak di kabin sampai tidak memperhatikan cokpit.

“Semua yang dilakukan pembajak dilaporkan ke menara”.  Kemudian si pembajak masuk ke kokpit sambil membawa tiga kaleng Coca-cola.  “Inilah akhir perjalanan kita.  Kita harus mati bersama.  Biar kalian tidak penasaran, lihatlah muka saya!” ujarnya sambil membuka topeng.  “Mari minum bersama!” katanya lagi.  ….Setelah meneguk Coke  dia kembali ke tumpukan kertas untuk memeriksa kembali kesempurnaan persiapan untuk meledakkan pesawat.

Dia lalu maju kearah kokpit lalu disulutnya sumbu dinamit.  “Pada saat itu saya laporkan ke tower ---kelihatannya inilah perjumpaan kita terakhir.  Sumbu sudah dinyalakan.  Dalam beberapa detik lagi pesawat akan meledak dan terbakar.  Selamat tinggal.  Allahu Akbar,” suara Soleh terdengar di menara.

Si pembajak maju dan berdiri di antara kursi kedua pilot lalu berkata, “OK, sumbu sudah kunyalakan dan kita akan mati bersama…ha..ha…ha…ha kita mati bersama!”.  Selesai mengucapkan kata-kata itu dia membalikkan badannya dan beranjak kearah kabin.  Pada saat itulah dengan kecepatan yang tidak terpikirkan oleh Soleh, pistol di tangan Captain Hindarto menyalak .  “Dor…dor… dor…!!” disusul suara “gedebuk” suara jatuhnya si pembajak.
Tiga peluru yang dimuntahkan bekas penerbang DAUM (Djawatan Angkutan Udara Militer) menyarang di kepala Hermawan, menamatkan riwayat pembajak dan drama pembajakan pertama di Indonesia.

Semua penumpang MNA yang turun paksa di Yogyakarta setibanya di Bandara Adisutjipto mendapat pertolongan.  Enam orang harus diangkut ke RS Bethesda karena kaki terkilir.
Bahkan seorang diantaranya harus dirawat di rumah sakit karena patah tulang iga.  Penumpang-penumpang lain yang tidak menderita sewaktu melompat langsung diberi penginapan hotel atas tanggungan MNA.

Si penumpang yang patah tulang iga ini, karena ia bingung isterinya yang hamil, harus melompat dari ketinggian sekitar tiga meter.  Akhirnya ia melompat duluan kemudian menjadi bantalan bagi isterinya.  Rupanya, penumpang lain pun mengikutinya, dan si penumpang ini menjadi bantalan bagi penumpang lainnya.  Si penumpang yang menjadi bantal ini akhirnya pingsan, karena tulang iganya patah.

Terakhir, Bambang melihat baju putih, seperti pilot, dengan baju yang sudah lusuh bermandi keringat.  Bambang pun mendekati dan setelah yakin memang pilot yang tadi ia lihat, Bambang memeluknya dan sang pilot pun berterima kasih sambil mengembalikan pistol Bambang. Sang pilot sempat bertanya siapa Bambang, sebenarnya.  Bambang pun menyebut ia dari kepolisian.

0 komentar:

Posting Komentar